Wednesday, November 3, 2021

Jika hari esok tidak ada (untukku)

Jika hari esok tidak ada untukku,

Apakah kau sudah tau betapa aku mencintaimu?

Apakah aku sudah cukup melakukan hal baik untukmu?

Apakah kau berbahagia pernah mengenalku?

 

 

Jika hari esok tidak ada untukku,

Apa yang ingin kau ingat tentangku?

Adakah yang ingin kau ucapkan kepadaku?

Adakah yang ingin kau lakukan bersamaku?


Jika hari esok tidak ada untukku,

Maafkan aku yang tidak bisa menjadi sepenuhnya seperti yang kau harapkan.

Maafkan aku yang masih penuh dengan kekurangan.

Maafkan aku yang pernah melukaimu.

 

 

Detik demi detik waktuku semakin berkurang,

Jika hari esok tidak ada untukku,

Aku mohon,

Tetaplah berbahagia. 



Grey_S

Notes: Perenungan ini untuk memperingati hari arwah orang-orang beriman 2 November 2021.

Bodoh


“Kamu tuh bodoh atau apa sih?” oceh temanku ketika dia mendengar lagi cerita lanjutanku tentang Huang.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, tapi aku terima pernyataannya bahwa aku memang bodoh. Tapi bukankah bodoh dalam cinta adalah hal yang biasa? Bukankah cinta itu memang tidak pakai logika, seperti lagunya Agnez Mo? Bukankah hati memang tidak bisa memilih ia ingin jatuh kepada siapa?

 

“Kamu sadar ngga sih, cintamu itu cuma ILUSI.” Lanjutnya lagi.

Lagi-lagi aku tidak mau menjawab ocehannya, karena percuma, penjelasanku hanya akan menjadi perdebatan diantara kami. Namun sejak pertama kali aku patah hati pada Huang, aku menolak cintaku dikatakan ilusi. Menurutku cinta yang hanyalah ilusi, jika yang aku cintai adalah karakter fiktif, seperti tokoh-tokoh Webtoon atau Manga favoritku atau para selebriti dunia. Tapi Huang bukanlah karakter fiktif. Aku sudah bertemu dengannya, aku pernah berbicara dan berbagi cerita dengannya, aku pernah makan bersamanya, aku pernah hang out bersamanya karena itu aku mempercayai keberadaan Huang.

Saat aku menyadari perasaanku kepada Huang, aku percaya itu sebuah perasaan yang NYATA. Hasrat yang nyata, cinta yang nyata. Dan karena aku sungguh-sungguh nyata dalam mencintainya, 11 tahun yang lalu aku memutuskan melepaskannya dari cintaku. Agar ia bisa menjadi dirinya sendiri, agar ia tidak terbebani dengan cintaku, agar dia bisa sungguh-sungguh berbahagia dengan pilihan hatinya.

Dan ternyata meski sudah belasan tahun berlalu, perasaanku terhadap Huang masih tetap sama seperti dulu, saat kami pertama bertemu.

 

“Dia tuh hanya butuh kamu karena kemarin itu dia sedang bermasalah?” lanjut temanku semakin emosi.

Saat bertemu Huang lagi setelah 11 tahun kami memutuskan untuk hidup masing-masing, aku justru mendapatkan refleksi baru tentang cinta Tuhan kepadaku, lewat cintaku yang bertepuk sebelah tangang kepada Huang.

Aku baru menyadari betapa Tuhan mencintaiku, di usiaku yang ke-36 jalan ke 37. Dimana selama 36 tahun hidupku, aku hanya datang kepada Tuhan dikala aku sedang bermasalah, dan membutuhkan keluh kesah, setelah masalahku berlalu, aku kembali melupakanNya. Aku bahkan tidak pernah menyadari bahwa Ia selalu hadir dalam setiap detik kehidupanku. Bahwa Ia selalu menjaga dan menyertaiku di setiap masalah yang aku hadapi.  

 

“Kamu tuh ngga capek yah? Aku yang dengernya aja capek loh.” Emosi temanku sepertinya semakin tidak terbendung

Capek? Aku pun pernah merenungkan pertanyaan ini. “apakah Tuhan pernah merasa capek dalam mencintai aku yang sama sekali tidak peka ini?” aku rasa jawabannya TIDAK.

Aku yakin Tuhan tidak pernah merasa capek dalam mencintaiku dan seluruh umatNya yang lain, karena itu Ia tetap membiarkan matahari menyinari bumi untuk menjadi waktu pergantian hari, Ia tetap membiarkan hujan membasahi bumi dan memberi kesegaran, Ia tetap membiarkan oksigen tersisa untuk dihirup cuma-cuma.

Karena Tuhan mencintaiku dengan sabar sampai aku menyadari hal tersebut, begitu pula aku harus bisa mencintai orang yang menolak dan melukai hatiku dengan sabar. Bukan untuk mengharapkannya membalas cintaku di kemudian hari, namun hanya untuk menyatakan bahwa cintaku adalah NYATA.

Aku memang masih manusia biasa yang bisa merasa capek saat menghadapi orang-orang di sekitarku. Apalagi kepada orang-orang yang terang-terangan mengecewakanku, menolakku, membuatku sedih. Tapi aku juga belajar, bila aku terus memohon untuk diberi hati yang bisa mencintai dengan tulus, yang bisa mencintai tanpa mengharapkan balas, yang bisa selalu memaafkan, maka Ia akan mengabulkan. Memang berat, tapi bukankah itu yang Ia ajarkan?

 

“Kamu tuh terlalu mencari ARTI di setiap peristiwa. Dibawa santai aja napa?” di akhir ocehannya.

Justru dengan merenungkan setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku, aku jadi bisa melihat peristiwa itu dari sudut pandang yang berbeda. Dengan melihat dari sudut pandang yang berbeda, aku jadi bisa lebih cepat berdamai dengan keadaan, dan bisa belajar untuk bersikap lebih baik ke depannya. Jadi apa salahnya?

 

“Apa kamu tidak memikirkan perasaan pasanganmu?”

Huang adalah masa laluku, jauh sebelum aku bertemu dengan pasanganku. Aku hanya berharap pasanganku dapat sungguh-sungguh menerima masa laluku, dengan seluruh proses yang pernah aku lewati.

Huang adalah takdir yang harus aku temui, proses yang harus aku lewati. Aku tidak pernah menyesali pertemuanku dengan Huang. Aku juga tidak pernah menyesali cintaku yang bertepuk sebelah tangan dengan Huang.

Lagi pula, aku berhutang sebuah jalan kehidupan dari Huang. Tanpa mengenalnya dan patah hati kepadanya, mungkin aku tidak akan pernah belajar untuk lepas bebas. Mungkin aku tidak akan pernah menyadari betapa besarnya cinta Tuhan kepadaku. Dan aku tidak akan menjadi aku yang sekarang.

 

Tentang aku yang masih mencintai Huang dulu, sekarang, dan entah sampai kapan, memang hanyalah keegoisanku untuk membahagiakan diriku sendiri. Aku menyadari secara penuh, jika bisa hidup bersama Huang hanyalah sebuah keserakahan bagiku, dan tetap bisa berada di sisinya dikala ia membutuhkanku sudah merupakan kemewahan bagiku. Maka itu aku sudah tidak berharap kami bisa bersama. Yah semoga saja pasanganku dapat menerima aku yang egois ini. Toh saat ini aku hanya bisa berdoa untuk Huang, semoga ia sungguh menemukan kebahagiaan sejati bersama pilihan hatinya. 


Grey_S

Wednesday, August 25, 2021

Roll Away the STONE

Di atas meja riasku tergantung sebuah salib, yang entah hadiah dari siapa, aku sudah tidak ingat. Pastinya bukan aku sendiri yang membeli, karena aku tidak suka membeli hiasan. Salib tersebut sudah kumiliki cukup lama, bahkan sudah tergantung diatas meja riasku pun cukup lama. Namun baru kemarin aku menyadari puisi yang tertulis di salib tersebut.

 

Roll Away the STONE

 Suffering and spent,

Broken and bent,

A crucified King with no throne.

His burial grave was a stone sealed cave.

But He rolled away the stone.

 

At that hour,

He unleashed a power the greatest the world has known.

And we were freed by His wondrous deed,

When He rolled away the stone.

 

If heavy cares weigh you down in despair,

Remember you’re not alone.

For He can shoulder each,

Burden or boulder

He’ll roll away the stone.

 

In the darkest night,

We can see the light

Our glorified savior shone.

From struggle and strife

We rise the new life

When we roll away the stone.

 

By Lisa O Engelhardt

 

Setiap orang memiliki beban (STONE) dalam hidupnya. Dan yang namanya beban sudah pasti BERAT. Semakin lama kita menanggung beban tersebut, semakin kita akan merasa lelah dan sesak di dada. Lambat laun, kita pasti akan terjatuh dan terhimpit oleh beban itu.

Sayangnya, hanya sedikit saja orang yang ingat dan menyadari, bahwa sebenarnya ia tidak sendirian saat menanggung beban tersebut. Ia memiliki Tuhan.

Tuhan yang menawarkan:

“Marilah kepadaku, semua yang letih lesu dan

berbeban berat, Aku akan memberikan 

kelegaan kepadamu.” - Matius 11: 28

 

Ia yang pernah menggulingkan batu besar yang menyegel makamNya sendiri, Ia pula yang mampu menggulingkan batu besar yang membebani kehidupan setiap manusia.

Kalau kau masih tidak mempercayai ke-Maha Besar-anNya tersebut, tidak apa-apa. Ia akan tetap ada di sisimu untuk tetap menjagamu. Tapi kalau kau sudah tidak sanggup lagi menanggung bebanmu tersebut, serahkan saja semua bebanmu kepadaNya. Maka kamu akan mendapatkan kelegaan.

 

Notes: Tulisan ini aku buat untuk menasehati diriku sendiri, yang kadang masih sering lupa akan keberadaanNya.



Grey_S

Sunday, August 8, 2021

Mendengarkan dengan HATI

Malam ini adalah hari pertama aku akan bertemu tatap muka secara daring dengan kelompok Latihan Rohani Pemula yang akan aku dampingi. Meskipun hal ini bukanlah pengalaman pertamaku, namun sepertinya pengalaman mendampingi kali ini masih saja memberikan sedikit beban.

Aku sudah menelpon para peserta satu per satu untuk perkenalan singkat. Aku juga sudah membaca-baca dan mempersiapkan materi untuk program ini. Namun sepertinya masih ada saja persiapan yang terlewat. Hal ini semakin membuat aku gelisah.

Beberapa hari yang lalu ketika dipertemuan daring untuk Percakapan Rohani awal para Fasilitator, di dalam group sharingku, salah seorang fasilitator senior yang juga berprofesi sebagai Biarawati, memperingatkan kami tentang mendengarkan dengan HATI. Beliau mengatakan bahwa tidak segala hal perlu kami tanggapi. Bahkan saat mendengarkan cerita para peserta pun, usahakan untuk tidak memikirkan tentang “bagaimana harus menanggapi” cerita tersebut. Cukup berikan HATI yang mengasihi untuk mendengarkan.

Atas saran dari Biarawati senior tersebut, aku sudah menyatakan memahami, dan akan aku lakukan. Namun sepertinya saat itu aku bahkan masih mendengarkan nasihat tersebut dengan telinga dan pikiranku saja, belum dengan hatiku.

Kemarin siang, ada salah seorang teman yang beberapa hari ini sedang curhat tentang seseorang yang membuat dia agak kesal. Sesudah dia menceritakan kepadaku, tanpa aku sadari, aku menanggapi curhatnya tersebut dengan sebuah postingan kata-kata bijak. Dan dijawabnya dengan “iya aku tau kok.” Dan semuanya berlanjut seperti biasa.

Hingga malam hari kemarin, aku mengobrol dengan salah seorang Pembina dari kelas Evangelisasi yang sedang aku ikuti. Aku memang sedang ingin mengobrol dengan seseorang tentang kegelisahan yang sedang aku rasakan, khususnya karena kegelisahaan ini menyangkut keputusanku untuk masa depan. Alih-alih mendengarkan secara lengkap ceritaku, aku baru bercerita sebagian, Pembina-ku tersebut sudah memberikan tanggapan. Dimana semua tanggapan-tanggapan yang diberikan sebenarnya sudah masuk ke dalam pertimbangan-pertimbanganku. Dan yang aku butuhkan dari mengajaknya mengobrol jelas bukan mengenai hal-hal umum yang harus aku pertimbangkan, namun aku ingin mendapat penjelasan kira-kira bagaimana proses yang harus aku tempuh, dan hal lain apa lagi yang harus aku pertimbangkan, diluar pertimbangan-pertimbangan yang sudah aku lakukan sebelumnya.

Jujur saja karena ceritaku yang dipotong tersebut, “kuliah” yang jauh lebih lama dari pada waktu yang diberikan untuk aku bercerita, dan juga penghakimannya terhadap pemikiran-pemikiran dan langkah-langkah yang sudah aku tempuh, membuat suasana hatiku menjadi agak jelek sepanjang malam kemarin.

Disaat suasana hatiku menjadi jelek, tiba-tiba aku teringat terhadap teman-teman yang selama ini sering bercerita kepadaku, khususnya yang baru siang tadi bercerita kepadaku. “Apakah aku pun sudah membuat teman-temanku kesal dengan caraku mendengarkan cerita mereka? Apakah aku sudah memberikan mereka hati yang mendengarkan?

Lalu pagi ini ketika aku mengikuti misa online, aku memilih mengikuti misa online yang dipimpin oleh seorang pastor yang selama ini dikenal selalu membacakan doa intensi satu per satu bagi yang meminta dan kotbah homilinya memang selalu bagus. Dan karena aku suasana hatiku masih sedikit jelek, aku ingin mendengar kotbahnya yang “mungkin” bisa menenangkan hatiku.

Dan sepertinya memang Roh Kudus lah yang menggerakkan aku untuk mengikuti misa online dari pastor tersebut, karena baru di awal misa, ketika ia akan membacakan intensi misa yang sangat amat banyak, ia berkata “Bapak Ibu dan saudara-saudara sekalian, saya memang selalu melayani dengan membacakan dan mendoakan intensi misa satu per satu. Saya mohon anda juga bisa MELAYANI dengan MENDENGARKAN dan ikut mendoakan.”

Deg…. Saat mendengar kata-kata tersebut, aku kembali merasa diingatkan untuk membiasakan diri mendengar dengan hati, khususnya bila aku memang ingin melayani dan menjadi saksi kasih Allah bagi orang-orang di sekitarku.

Selesai misa, aku melanjutkan dengan membaca Alkitab seperti yang sedang aku jadikan kebiasaan, dan menuliskan Jurnal Emaus. Lagi-lagi aku seperti mendapat peneguhan dari peringatan yang aku dapat sejak semalam. Ayat yang aku dapat dari Mazmur 34 : 7

Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya.”

Lagi-lagi kata “mendengar”. Bahkan dari ayat ke-3 pun sudah ada kata “mendengarnya”.

Aku pun mencoba untuk semakin merenungkan lebih dalam. Apakah dambaanku, untuk dapat semakin memurnikan panggilan hidupku, yang pernah aku tulis sebelum Latihan Rohani Pemula season 5 dimulai, sudah mulai aku rasakan?

Tapi apapun yang sudah terjadi dari semalam sampai saat ini, aku merasa bersyukur. Aku bisa kembali merasakan kehadiran Tuhan, yang mengingatkanku akan kelemahan-kelemahan yang aku miliki. Kelemahan yang tampak sepele namun ternyata bisa berdampak sangat besar bagi orang lain.

Aku bertekad 5 minggu ini, aku ingin hadir sepenuh hati bagi setiap orang yang membutuhkanku. Bagi para peserta LRP yang aku dampingi, bagi para sahabat, keluarga, dan rekan-rekanku.

Semoga dengan bimbingan Roh Kudus yang baik, aku bisa melaksanakan tekadku. Semua hal ini ingin aku lakukan untuk kemuliaan Tuhan yang lebih tinggi. Amin. 


Grey_S

Tuesday, June 29, 2021

Yang pertama bagiku

Semua orang pasti memiliki pengalaman “Pertama Kali”, begitu pun aku. Untuk urusan hubungan cinta, meski dia bukan cinta pertamaku, tapi dia adalah semua yang pertama bagiku. Dia pacar pertamaku, dia ciuman pertamaku, bersamanya aku pertama kali menghabiskan saat-saat romantis.

Pertama kali mendapat kiriman buket bunga, pertama kali punya panggilan sayang selain untuk adik dan keponakan, pertama kalinya bisa bersama seseorang penting di moment penting keluarga besar, pertama kalinya bisa merasakan wisuda di dampingi kekasih, pertama kalinya liburan ke negara impianku sejak kecil, pertama kalinya pergi Camping meski berakhir nginep di mobil karena hujan deras dan tenda kami gagal dibangun, dan sepertinya masih banyak hal-hal pertama lainnya yang aku alami bersamanya, termasuk pertama kalinya aku putus.

Untuk pertama kalinya, akhirnya aku punya MANTAN PACAR. Suatu yang sangat tidak ingin aku banggakan sama sekali.

Apakah yang kurasakan saat ini adalah perasaan yang wajar ketika orang baru berpisah dari kekasihnya? Perasaan serba salah, serba ragu.

Apakah keputusan ini adalah keputusan yang benar? Bagaimana kalau ternyata aku saja yang terlalu egois?

Apakah akan ada orang lain yang lebih baik darinya? Bagaimana kalau tidak akan ada orang lain lagi untukku?

Apakah aku siap bila ia sudah bersama orang lain?

Apakah suatu saat kami bisa tertawa bersama lagi, saling bercerita lagi, bagai sahabat lama, seperti saat kami belum menjalin hubungan khusus?

Pusing.

Sedih.

Kecewa.

Mungkin aku hanya terlalu banyak berharap kepadanya, makanya aku merasa kecewa.



Grey_S 

Thursday, May 13, 2021

Ketika Depresi-ku kambuh

“Apa sih yang paling kamu inginkan ketika Depresi-mu lagi kambuh?” tanya seorang teman kepadaku, saat kami sedang membicarakan kondisi mamanya yang sedang sakit cukup berat.

Dan seperti biasa, ketika ditanya secara langsung, aku malah tidak bisa menjelaskannya secara detail, karena itu aku coba jelaskan lewat tulisan lagi.

Pada saat aku mengalami masalah cukup berat, merasa terpuruk, mengalami kesedihan yang dalam, bahkan masuk ke tahap Depresi, pastinya yang aku inginkan adalah kabur dari kenyataan, tidak perlu terbangun lagi dari alam mimpi, tidur selamanya (atau kata kasarnya yah… maunya sih mati aja lah). Maka pada saat mengalami itu, biasanya aku bisa tidur belasan jam, tidak nafsu makan, merasa tubuh lemas, lemah, lelah, bahkan semua penyakit bisa terasa (psikosomatis), dan pastinya pikiran dan perasaan juga menjadi jelek terus.

Nah pada saat itu terjadi, yang penting itu justru bukan “apa yang aku inginkan” tapi “apa yang aku BUTUHKAN

Pada saat itu terjadi sebenarnya aku hanya butuh: ada yang mengingatkan aku betapa aku dicintai, betapa kehadiranku masih dibutuhkan, bahwa aku tidak sendirian di dunia ini, bahwa badai yang aku alami pasti akan berlalu, dan hal-hal positif lainnya.

Tapi untuk diingatkan hal-hal tersebut diatas pun, tidak melulu harus lewat kata-kata. Cukup dengan tidak menghakimi kadang itu sudah sangat membantu. Tetap bertahan di sisi-ku, atau dengan sebuah pelukan hangat, atau kecupan kecil, itu sudah membuatku sangat bersyukur.

Aku masih terkenang sebuah kejadian belasan tahun lalu, ketika adikku yang paling kecil, saat itu baru berusia 8-9 tahunan, memelukku erat sambil berkata “Cici, cici lagi stress yah. Jangan stress-stress dong.” Mungkin dia bahkan sudah melupakan kejadian itu, tapi pelukannya saat itu berhasil menyelamatkanku dari keterpurukan. Hal-hal sederhana ini lah yang paling aku butuhkan disaat aku sedang terpuruk atau Depresiku sedang kambuh.

Oh ya, tiap-tiap orang memiliki Bahasa Cinta yang berbeda-beda. Sehingga tiap orang pasti memiliki cara yang berbeda pula untuk mengingat pengalaman-pengalaman dicintai tersebut. Saranku, pelajarilah Bahasa Cinta orang yang ingin kamu dampingi untuk melewati masa sulitnya. Kalau kamu sungguh-sungguh mencintai orang tersebut, pasti tidak masalah kan untuk kamu mencoba memahami lebih dalam apa yang ia butuhkan? Dan bersabarlah menghadapinya, karena tiap orang membutuhkan waktu yang berbeda pula untuk bisa pulih dari keterpurukannya. 


Grey_S

Wednesday, April 21, 2021

Teman Seperjalanan


Alkisah ada 2 orang teman lama yang memutuskan berjalan bersama, sebut saja si A dan si B.

Sebenarnya mereka tau dan sadar, bahwa mereka memiliki jarak saat berjalan bersama itu, namun setelah memikirkan matang-matang, dan sedikit berharap bahwa jarak tersebut suatu saat akan menyatu di ujung jalan, mereka tetap memutuskan untuk berjalan bersama.

Perbedaan karakter keduanya, yang cukup berkebalikan bumi dan langit, juga tidak menjadi masalah, dan bahkan pada awalnya terasa saling melengkapi. Jalan yang awalnya sunyi dan membosankan, berubah menjadi seru dan menyenangkan. Semua karena mereka menempuh jalan tersebut berdua.

Namun dengan semakin berjalannya waktu, dan semakin jauhnya perjalanan yang mereka tempuh, jarak yang terbentang diantara mereka ternyata justru semakin melebar, bukan menyatu seperti yang mereka harapkan.

Mereka masih bisa saling memandang dari kejauhan, namun untuk mendengarkan suara satu sama lain, semakin sulit untuk dilakukan. Sehingga kesalahpahaman diantara mereka pun menjadi semakin sering terjadi. Apalagi ketika mereka menemukan sebuah kenyataan baru bahwa ujung jalan yang mereka harus tempuh ternyata berkebalikan. A harus terus berjalan ke arah kanan, sedangkan B harus terus berjalan ke arah kiri.

Untuk melompati jarak yang mereka miliki sekarang, untuk memilih salah satu jalan saja, ternyata sudah tidak mungkin karena jarak tersebut sudah terlalu lebar. Untuk memutar balik juga tidak mungkin, karena jalan yang mereka tempuh adalah Jalan Kehidupan, dimana hanya terdapat satu arah maju saja, tidak pernah ada arah mundur atau kembali.  

Pilihan mereka hanya, tetap bersama namun harus diam ditempat dan tidak kemana-mana lagi, atau tetap melanjutkan perjalanan namun terpaksa harus berjalan masing-masing, seperti saat mereka belum memutuskan untuk berjalan bersama.

Sayangnya keputusan untuk diam ditempat juga bukan keputusan yang bijaksana, mengingat persediaan bekal mereka yang terbatas dan di lokasi tersebut juga tidak ada yang menyediakan bahan makanan. Sehingga kalau mereka memaksakan diri untuk tetap bersama dan berdiam diri, maka hanya dalam hitungan hari, salah satu dari mereka, atau bahkan mereka berdua akan mati.

Akhirnya dengan mempertimbangkan keselamatan bersama, salah satu dari mereka membuat keputusan untuk terus berjalan, meski ia pun menjadi sangat sedih karena harus berpisah dengan teman seperjalanannya yang sudah 9 tahun lebih menemaninya berjalan bersama.

Ia hanya bisa mempercayakan takdir mereka kembali kepada Tuhan. Tuhan yang mempertemukan mereka, Tuhan yang mengijinkan mereka berjalan bersama selama 9 tahun, maka bila Tuhan berkehendak, suatu saat mungkin saja jalan kehidupan yang mereka tempuh bisa bersisian lagi bahkan bisa menjadi satu jalan yang tidak berjarak.



Grey_S 

Ad Maiorem Dei Gloriam


Ad maiorem Dei gloriam,

Engkau yang mempertemukan kami,

Engkau yang menyatukan kami,

Hanya Engkau lah yang dapat memisahkan kami.

 

Ad maiorem Dei gloriam,

Engkau yang mendampingi setiap langkah hidup kami,

Bila ternyata perpisahan ini akan memuliakan namaMu lebih besar,

Membuat aku dan dia menjadi lebih bisa mendekat kepadaMu,

Maka terjadilah sesuai kehendakMu.

 

Ad maiorem Dei gloriam.

Untuk keagungan Allah yang lebih besar,

Bila aku harus merengkuh luka-lukaku,

Mencintainya meski tak dapat bersama

Maka terjadilah padaku sesuai kehendakMu.

 

Ad maiorem Dei gloriam,

Untuk keagungan Allah yang lebih besar,

Aku serahkan segenap hidupku, segenap karyaku,

Keselamatan orang-orang yang aku cintai, dan

Hubunganku dengannya.

 

 

Ad Maiorem Dei Gloriam, sebuah kalimat dalam bahasa Latin, artinya adalah: "Untuk Keagungan Allah Yang Lebih Besar." Motto Ad Maiorem Dei Gloriam (AMDG) adalah inspirasi indah dari seorang yang secara totalitas menyerahkan segenap hidup dan karyanya untuk keagungan Allah yang tergambar di dalam hidup dan karya Yesus Kristus, yaitu yang sekarang di kalangan Gereja Katolik terkenal dengan nama Santo Ignatius Loyola, pendiri Tarekat Ordo Serikat Yesus dalam Agama Katolik.



Grey_S

Thursday, April 15, 2021

Senyuman-Nya


Pagi ini ketika aku melakukan Latihan Percakapan Rohani, aku yang mengimajinasikan tentang Dia, melihat Dia sedang sibuk melakukan sesuatu ketika aku datang.

Dia mempersilahkan aku berbicara, mencurahkan isi hatiku, sambil Ia masih sibuk melakukan sesuatu entah apa. Maka aku pun mulai berbicara, mengeluarkan semua kegelisahan hatiku.

Selesai aku berbicara panjang lebar, memohon ini itu, aku diam sejenak sambil menatap wajahNya. Saat itulah aku melihat Ia sedang tersenyum nakal. Dia tidak berbicara apapun, hanya tersenyum, atau mungkin lebih tepatnya menahan tawa.

Namun saat melihat senyumanNya yang begitu nakal, bahkan melebihi senyuman nakal keponakanku tersayang, aku menjadi ikut tersenyum. Senyum pahit. Karena aku jadi yakin bahwa Dia memang masih ingin bermain dan bercanda denganku.

Aku pun menyudahi Percakapan Rohani pagi ini, dengan berserah kepadaNya saja, semoga aku selalu bisa memahami bercandaanNya kepadaku. 



Grey_S

Tuesday, April 13, 2021

PERANG (dengan diri sendiri)

Tulisan ini seharusnya saya tuliskan beberapa minggu lalu, tapi karena kesibukan dan rasa malas membuat aku terlambat menuliskannya.

Jadi, akhir Maret lalu, adalah minggu terakhir dari Latihan Rohani Pemula yang aku ikuti. Ternyata programnya memang dibuat agar selesai tepat ketika memasuki Pekan Suci 2021. Di minggu terakhir ini, minggu ke-5, kami mendoakan tentang Asas dan Dasar. Dan ini pertama kalinya aku mendoakan tentang Asas dan Dasar, karena ketika mengikuti LRP yang sebelumnya, kami tidak diwajibkan mendoakan minggu ke-5.

Di salah satu doa di minggu ke-5 ini, ada sebuah doa dimana aku diminta untuk membayangkan Yesus sebagai seorang Raja Abadi yang sedang mengajak para Ksatria-Nya untuk “berperang” mengatasi segala penderitaan yang membelenggu manusia. Untuk ikut serta dalam perang tersebut, otomatis para Ksatria harus hidup mengikuti cara hidup Yesus yang harus meninggalkan segala kenikmatan dan kenyamanan yang pernah dirasakan.

Ketika membayangkan ajakan “perang”, tiba-tiba aku kembali mengalami ketakutan yang luar biasa. Rasa takut yang sama persis ketika aku pertama kali ikut menyelam bebas. Di pikiranku waktu itu, keluar kata-kata “Ikut perang? Ngapain? Gila yah? Untung kagak, mati iya.” dan aku pun buru-buru menyelesaikan doaku. Bagai seorang pengecut, aku ingin kabur secepatnya dari lokasi para Ksatria berkumpul mendengarkan ajakan Yesus untuk berperang bersamaNya.

Lalu sepanjang hari ini, Mood-ku mendadak jelek. Bawaanku ingin marah-marah ke semua orang yang ku temui.

Malam harinya, ketika aku membaca Alkitab seperti biasa, tiba-tiba aku menemukan sebuah ayat dari Kolose 3: 5-6a

"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat, dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah."

Deg... Jantungku hampir berhenti membaca ayat tersebut, tapi aku masih belum mau memikirkannya dan aku memilih tidur.

Besok paginya, aku mengikuti Misa Acies Legio Mariae, di bagian Homili, Pastor yang memimpin ternyata mengangkat tema tentang “Perang”. Beliau mengingatkan bahwa saat ini Perang yang diminta oleh Tuhan untuk dilakukan oleh umatNya, bukanlah perang dengan kekerasan dan mengangkat senjata, namun perang melawan diri sendiri dan segala hawa nafsu.

Deg... untuk kedua kalinya jantungku hampir berhenti. 3x dalam 24 jam, aku diingatkan dengan ajakan perang dari Tuhan. Kali ini aku tidak bisa lari lagi, dan aku pun tidak ingin lari lagi. Aku sadar kemana pun aku berlari dan bersembunyi, Tuhan akan selalu berhasil mengejar dan menemukanku.

Selesai Misa pagi itu, aku pun berdoa, aku meng-iya-kan ajakan Tuhan untuk berperang, melawan diriku sendiri dan semua nafsu jahat yang masih ada dalam diriku.

Setelah hari itu, tantangan hidupku pun mulai bertambah. 


Grey_S


Thursday, March 18, 2021

Seperti Fajar

Minggu lalu, hampir seminggu penuh aku mengalami desolasi. Akibat perasaan desolasi itu, depresiku pun kambuh. Perasaan bersalah terus menghantuiku. Padahal aku tau, Tuhan akan selalu mengampuniku. Ia akan selalu mendampingiku.

Puji syukur kepada Tuhan, Ia memberiku petunjuk lewat frater, yang aku hubungi juga karena mengikuti petunjuk dari buku LRP. “Ingat Mazmur 23: sekalipun aku berjalan dalam lembah “kegelapan”, Engkau tetap besertaku. Desolasi yah kegelapan itu. Tetap berdoa dan mohon penyertaan Allah.” begitu pesan frater.

Maka setelah chat aku langsung berdoa. Tapi hari ini aku sedang tidak ingin berdoa dengan duduk manis. Aku ingin merenungkan semua kejadian-kejadian yang aku alami seminggu ini sambil berjemur dibawah sinar matahari pagi. Kebetulan pagi itu matahari bersinar cukup hangat.

Dalam percakapan rohani yang aku lakukan sambil berjemur, aku mengungkapkan semua perasaan sesalku, aku memohon untuk bisa keluar dari suasana kelam tersebut. Aku bercerita bahwa akibat perasaan desolasi yang berhari-hari, depresiku mulai kambuh, aku jadi tidak bisa berpikir dan semakin tidak bisa menyelesaikan tugas-tugasku. Lalu ketika aku sudah tidak bisa bercerita lagi, dan membiarkan suasana hening untuk sebagai waktu mendengarkan, tiba-tiba ada awan yang bergerak menutupi matahari, membuat sinar matahari yang sedang menyinariku meredup, namun hal tersebut berlangsung tidak lama. Ketika awan itu berlalu, sinar matahari kembali menghangatkan tubuhku.

Pada saat sedang memperhatikan fenomena tersebut sambil masih mengambil sikap mendengarkan, aku merasa ada bisikan yang muncul “Matahari akan bersinar lagi. Tenang saja, matahari-nya akan bersinar lagi.”

Saat itu lah aku tidak bisa membendung air mataku. Perasaan desolasi yang sudah menghantuiku selama berhari-hari tiba-tiba dipulihkan. Aku merasakan lagi kehadiran Tuhan di dekatku. Aku kembali merasa dicintai. Aku kembali merasa berharga.

Lalu lewat sharing iman dengan kelompok LRP-ku, aku juga diingatkan oleh salah seorang peserta bahwa, kita tetap harus bersyukur bisa mengalami pengalaman desolasi tersebut, sehingga kita bisa tetap rendah hati dan tetap bisa merasakan kasih Tuhan. Kalau tidak pernah mengalami hal itu, mungkin saja buntut-buntutnya aku bisa menjadi tinggi hati.

Yah, aku bersyukur mengalami hal ini. Setidaknya aku jadi punya bahan untuk sharing iman kepada orang lain. Aku juga jadi memiliki pengalaman yang berbeda dari pengalaman LRP yang sebelumnya

Apalagi peserta lainnya juga meneguhkanku lewat pernyataannya yang mengatakan, setelah mendengar sharingku, ia jadi teringat dengan lagu “Janji-Mu S’perti Fajar”, dimana lagu itu memang persis menggambarkan pengalamanku saat itu, dan juga seperti menjadi pengantar untuk retret minggu ke-4 yang akan kami jalani. Dimana untuk minggu ke-4 ini, kami akan diajak merenungkan Cinta Tuhan yang bagaikan sinar matahari dan mengalir seperti air di sungai. 

Sungguh luar biasa Tuhan dalam memberikan pengajaran hidup.

 

JanjiMu S'perti Fajar

 

Ketika kuhadapi kehidupan ini

Jalan mana yang harus ku pilih

Ku tahu ku tak mampu

Ku tahu ku tak sanggup

Hanya Kau Tuhan tempat jawabanku

 

Aku pun tahu ku tak pernah sendiri

Sebab Engkau Allah yang menggendongku

TanganMu membelaiku

CintaMu memuaskan ku

Kau mengangkatku

Ke tempat yang tinggi

 

JanjiMu seperti fajar pagi hari

Dan tiada pernah terlambat bersinar

CintaMu seperti sungai yang mengalir

Dan ku tahu betapa dalam kasihMu


Grey_S