Wednesday, August 25, 2021

Roll Away the STONE

Di atas meja riasku tergantung sebuah salib, yang entah hadiah dari siapa, aku sudah tidak ingat. Pastinya bukan aku sendiri yang membeli, karena aku tidak suka membeli hiasan. Salib tersebut sudah kumiliki cukup lama, bahkan sudah tergantung diatas meja riasku pun cukup lama. Namun baru kemarin aku menyadari puisi yang tertulis di salib tersebut.

 

Roll Away the STONE

 Suffering and spent,

Broken and bent,

A crucified King with no throne.

His burial grave was a stone sealed cave.

But He rolled away the stone.

 

At that hour,

He unleashed a power the greatest the world has known.

And we were freed by His wondrous deed,

When He rolled away the stone.

 

If heavy cares weigh you down in despair,

Remember you’re not alone.

For He can shoulder each,

Burden or boulder

He’ll roll away the stone.

 

In the darkest night,

We can see the light

Our glorified savior shone.

From struggle and strife

We rise the new life

When we roll away the stone.

 

By Lisa O Engelhardt

 

Setiap orang memiliki beban (STONE) dalam hidupnya. Dan yang namanya beban sudah pasti BERAT. Semakin lama kita menanggung beban tersebut, semakin kita akan merasa lelah dan sesak di dada. Lambat laun, kita pasti akan terjatuh dan terhimpit oleh beban itu.

Sayangnya, hanya sedikit saja orang yang ingat dan menyadari, bahwa sebenarnya ia tidak sendirian saat menanggung beban tersebut. Ia memiliki Tuhan.

Tuhan yang menawarkan:

“Marilah kepadaku, semua yang letih lesu dan

berbeban berat, Aku akan memberikan 

kelegaan kepadamu.” - Matius 11: 28

 

Ia yang pernah menggulingkan batu besar yang menyegel makamNya sendiri, Ia pula yang mampu menggulingkan batu besar yang membebani kehidupan setiap manusia.

Kalau kau masih tidak mempercayai ke-Maha Besar-anNya tersebut, tidak apa-apa. Ia akan tetap ada di sisimu untuk tetap menjagamu. Tapi kalau kau sudah tidak sanggup lagi menanggung bebanmu tersebut, serahkan saja semua bebanmu kepadaNya. Maka kamu akan mendapatkan kelegaan.

 

Notes: Tulisan ini aku buat untuk menasehati diriku sendiri, yang kadang masih sering lupa akan keberadaanNya.



Grey_S

Sunday, August 8, 2021

Mendengarkan dengan HATI

Malam ini adalah hari pertama aku akan bertemu tatap muka secara daring dengan kelompok Latihan Rohani Pemula yang akan aku dampingi. Meskipun hal ini bukanlah pengalaman pertamaku, namun sepertinya pengalaman mendampingi kali ini masih saja memberikan sedikit beban.

Aku sudah menelpon para peserta satu per satu untuk perkenalan singkat. Aku juga sudah membaca-baca dan mempersiapkan materi untuk program ini. Namun sepertinya masih ada saja persiapan yang terlewat. Hal ini semakin membuat aku gelisah.

Beberapa hari yang lalu ketika dipertemuan daring untuk Percakapan Rohani awal para Fasilitator, di dalam group sharingku, salah seorang fasilitator senior yang juga berprofesi sebagai Biarawati, memperingatkan kami tentang mendengarkan dengan HATI. Beliau mengatakan bahwa tidak segala hal perlu kami tanggapi. Bahkan saat mendengarkan cerita para peserta pun, usahakan untuk tidak memikirkan tentang “bagaimana harus menanggapi” cerita tersebut. Cukup berikan HATI yang mengasihi untuk mendengarkan.

Atas saran dari Biarawati senior tersebut, aku sudah menyatakan memahami, dan akan aku lakukan. Namun sepertinya saat itu aku bahkan masih mendengarkan nasihat tersebut dengan telinga dan pikiranku saja, belum dengan hatiku.

Kemarin siang, ada salah seorang teman yang beberapa hari ini sedang curhat tentang seseorang yang membuat dia agak kesal. Sesudah dia menceritakan kepadaku, tanpa aku sadari, aku menanggapi curhatnya tersebut dengan sebuah postingan kata-kata bijak. Dan dijawabnya dengan “iya aku tau kok.” Dan semuanya berlanjut seperti biasa.

Hingga malam hari kemarin, aku mengobrol dengan salah seorang Pembina dari kelas Evangelisasi yang sedang aku ikuti. Aku memang sedang ingin mengobrol dengan seseorang tentang kegelisahan yang sedang aku rasakan, khususnya karena kegelisahaan ini menyangkut keputusanku untuk masa depan. Alih-alih mendengarkan secara lengkap ceritaku, aku baru bercerita sebagian, Pembina-ku tersebut sudah memberikan tanggapan. Dimana semua tanggapan-tanggapan yang diberikan sebenarnya sudah masuk ke dalam pertimbangan-pertimbanganku. Dan yang aku butuhkan dari mengajaknya mengobrol jelas bukan mengenai hal-hal umum yang harus aku pertimbangkan, namun aku ingin mendapat penjelasan kira-kira bagaimana proses yang harus aku tempuh, dan hal lain apa lagi yang harus aku pertimbangkan, diluar pertimbangan-pertimbangan yang sudah aku lakukan sebelumnya.

Jujur saja karena ceritaku yang dipotong tersebut, “kuliah” yang jauh lebih lama dari pada waktu yang diberikan untuk aku bercerita, dan juga penghakimannya terhadap pemikiran-pemikiran dan langkah-langkah yang sudah aku tempuh, membuat suasana hatiku menjadi agak jelek sepanjang malam kemarin.

Disaat suasana hatiku menjadi jelek, tiba-tiba aku teringat terhadap teman-teman yang selama ini sering bercerita kepadaku, khususnya yang baru siang tadi bercerita kepadaku. “Apakah aku pun sudah membuat teman-temanku kesal dengan caraku mendengarkan cerita mereka? Apakah aku sudah memberikan mereka hati yang mendengarkan?

Lalu pagi ini ketika aku mengikuti misa online, aku memilih mengikuti misa online yang dipimpin oleh seorang pastor yang selama ini dikenal selalu membacakan doa intensi satu per satu bagi yang meminta dan kotbah homilinya memang selalu bagus. Dan karena aku suasana hatiku masih sedikit jelek, aku ingin mendengar kotbahnya yang “mungkin” bisa menenangkan hatiku.

Dan sepertinya memang Roh Kudus lah yang menggerakkan aku untuk mengikuti misa online dari pastor tersebut, karena baru di awal misa, ketika ia akan membacakan intensi misa yang sangat amat banyak, ia berkata “Bapak Ibu dan saudara-saudara sekalian, saya memang selalu melayani dengan membacakan dan mendoakan intensi misa satu per satu. Saya mohon anda juga bisa MELAYANI dengan MENDENGARKAN dan ikut mendoakan.”

Deg…. Saat mendengar kata-kata tersebut, aku kembali merasa diingatkan untuk membiasakan diri mendengar dengan hati, khususnya bila aku memang ingin melayani dan menjadi saksi kasih Allah bagi orang-orang di sekitarku.

Selesai misa, aku melanjutkan dengan membaca Alkitab seperti yang sedang aku jadikan kebiasaan, dan menuliskan Jurnal Emaus. Lagi-lagi aku seperti mendapat peneguhan dari peringatan yang aku dapat sejak semalam. Ayat yang aku dapat dari Mazmur 34 : 7

Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya.”

Lagi-lagi kata “mendengar”. Bahkan dari ayat ke-3 pun sudah ada kata “mendengarnya”.

Aku pun mencoba untuk semakin merenungkan lebih dalam. Apakah dambaanku, untuk dapat semakin memurnikan panggilan hidupku, yang pernah aku tulis sebelum Latihan Rohani Pemula season 5 dimulai, sudah mulai aku rasakan?

Tapi apapun yang sudah terjadi dari semalam sampai saat ini, aku merasa bersyukur. Aku bisa kembali merasakan kehadiran Tuhan, yang mengingatkanku akan kelemahan-kelemahan yang aku miliki. Kelemahan yang tampak sepele namun ternyata bisa berdampak sangat besar bagi orang lain.

Aku bertekad 5 minggu ini, aku ingin hadir sepenuh hati bagi setiap orang yang membutuhkanku. Bagi para peserta LRP yang aku dampingi, bagi para sahabat, keluarga, dan rekan-rekanku.

Semoga dengan bimbingan Roh Kudus yang baik, aku bisa melaksanakan tekadku. Semua hal ini ingin aku lakukan untuk kemuliaan Tuhan yang lebih tinggi. Amin. 


Grey_S