Sunday, January 19, 2020

Relationship


Menurut Wikipedia, Relationship (Hubungan) adalah kesinambungan INTERAKSI antara dua orang atau lebih yang memudahkan proses pengenalan satu akan yang lain.

Dari arti kata ini saja bisa aku simpulkan bahwa untuk menjalin hubungan harus ada INTERAKSI yang BERKESINAMBUNGAN. Dan syarat terjadinya interaksi sosial meliputi kontak sosial dan komunikasi. Interaksi tidak akan terwujud sepenuhnya tanpa keduanya. Kontak sosial merupakan sentuhan yang tidak melulu fisik, melainkan bisa pula verbal. Komunikasi adalah prosesnya.

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. 

Dan hubungan ini bisa dibedakan lagi menjadi hubungan dengan Tuhan dan alam semesta, hubungan dengan teman, hubungan dengan orang tua / keluarga / pasangan, dan hubungan dengan masyarakat. Dan jelas setiap hubungan itu memiliki perbedaan dan batasan-batasan yang harus dibuat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. 

Contoh, saat berhubungan dan berkomunikasi dengan Tuhan atau alam semesta, tentu sifatnya akan menjadi satu arah. Tidak mungkin kita mengharapkan Tuhan berkomunikasi dengan kita sama seperti kita berkomunikasi dan berhubungan dengan sesama manusia. Dan hanya dengan iman yang cukup kita bisa mendengar atau melihat jawaban dari usaha kita saat berhubungan dan berkomunikasi dengan Tuhan dan alam semesta. 

Sedangkan saat kita berhubungan dengan sesama manusia, tentu sangat tidak diharapkan bahwa hubungan itu menjadi satu arah. Meski mungkin akan terjadi sedikit kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi, namun sebagai mahluk sosial manusia harus selalu menemukan cara untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. 
 
Dari aku pribadi, aku membedakan interaksi sosial dan komunikasi dengan sesama, berdasarkan tingkat kedekatanku dengan setiap orang. 

Contoh, aku tidak setiap hari berkomunikasi dengan semua teman-temanku, kecuali dengan teman-teman sekantor yang memang kebetulan ketemu setiap hari. Dan dengan teman-teman sekerja yah aku lebih banyak berkomunikasi membahas tentang pekerjaan, ngobrol tentang topic personal diluar pekerjaan yah jarang banget. 

Untuk menjadi “terbuka” secara personal pun aku pilih-pilih orang, karena aku tidak mau orang lain terbebani atau masalahku malah menjadi bahan gossip saja. Maka itu aku menjadi kurang suka bermain social media lagi, karena di social media bisa saja aku memiliki berjuta-juta teman, namun mungkin orang yang pantas disebut TEMAN yah tidak banyak. 

Saat ini, aku pun memutuskan kembali ke blog karena dengan menulis blog aku sekalian therapy menulis. Selain itu blog juga sudah jarang ada yang baca. Seandainya ada yang baca yah artinya mereka memang sedang mencari tau menggunakan “key words”atau teman-teman lama di blog yang masih menggunakan blog juga. Jadi anggap saja aku sedang berbagi cerita.

Beberapa tahun yang lalu, aku juga pernah dimarahi dan ditinggal oleh seseorang yang mengaku teman, hanya karena aku tidak bersedia meladeni dia yang terus-terusan menelpon atau mengirimkan pesan setiap hari. Pagi, siang, malam. Padahal dia pun sudah menolakku sebagai pacar dan memilih jadian dengan orang lain.

Dia marah dan mengatakan “Kenapa sih kamu berubah jadi ngga asik? Aku tulus ingin berteman dengan kamu loh.” dan waktu itu aku jawab demikian, “kalau kamu cuma anggap aku teman, harusnya kamu ngga perlu marah kalau aku ngga angkat telp, atau lama membalas pesan. Mungkin aja aku lagi sibuk. Dan aku juga ngga punya kewajiban untuk memperhatikan kamu setiap hari atau menelepon kamu setiap malam, hanya untuk say good night sebelum kamu tidur. Kan aku cuma teman, bukan pacar.” Setelah itu dia memutuskan semua jalur komunikasi ke aku. 

Jadi buat aku, yang memang sulit dalam komunikasi dan menjalin hubungan baik dengan orang lain, aku hanya akan berusaha berkomunikasi dan berinteraksi secara intens dengan orang-orang terdekatku. Orang-orang yang aku anggap perlu tau tentang keberadaanku, kondisiku, dan hal-hal yang terjadi denganku. Orang-orang yang mungkin akan merasa kehilangan aku, jika aku tidak ada bersama mereka. Agar mereka juga tidak khawatir dan tidak bertanya-tanya. Dan yang paling penting agar mereka juga tau, aku akan berusaha selalu ada untuk mereka apapun yang terjadi. Atau bahasa simplenya, aku hanya mau berbagi suka duka ke orang-orang yang memang berbagi kehidupan dengan aku juga. 

Dengan teman-teman yang lain yah cukup say hello kalau ketemu, atau ngobrol di WAG aja. Ngga perlu lah semua hal dibahas ke teman-teman. Toh beberapa hal pasti akan sangat membutuhkan privasi untuk dibahas. 

Untuk hubungan dan komunikasi dengan pasangan, ini buatku sangat special. Kenapa sangat special, tentu saja karena pada saat aku memutuskan menerima seseorang sebagai pendampingku, aku harus belajar mencintainya seperti aku mencintai diriku sendiri. Sehingga meski mungkin aku bisa menutup diri dari orang lain, namun kepada pasangan aku tidak bisa dan tidak boleh melakukan itu. 

Sehingga dari awal hubungan kami aku selalu berusaha untuk tidak menutupi apapun kepada pasangan. Bila aku kesal dengan sikapnya, aku pasti akan mengatakan blak-blakan. Aku bukan tipe orang yang memberikan “kode-kodean” kepada orang dekat. Karena aku tau begitu aku main “kode-kodean” dan dia tidak paham, maka kesalahpahaman diantara kami akan semakin parah, dan itu pasti malah akan memperburuk keadaan. 

Aku pun memiliki prinsip, bila kami sedang bermasalah, kami harus menyelesaikannya sebelum kami tertidur. Karena kalau lewat dari hari itu, belum tentu lagi kami memiliki hari esok untuk menyelesaikan kesalahpahaman diantara kami. Apalagi aku dan pasanganku sekarang sedang menjalani hubungan jarak jauh. 

Mungkin karena garis batas yang sangat tegas yang aku berikan pada setiap level pertemananku, aku pun menjadi mengharapkan hal yang sama dari pasangan. Aku mengharap keterbukaan dari dirinya kepadaku. Karena bagaimanapun pada saat kami berkomitmen untuk berjalan bersama, maka sudah selayaknya kami harus berbagi suka dan duka bersama. 

Bila dia sedang dalam fase kebosanan terhadap hubungan kami pun aku sangat mengharapkan dia bisa mengatakan dengan jelas apa yang dia harapkan untuk diperbaiki bersama.




https://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan

KEMATIAN

Tahun 2020 bahkan belum melewati hari ke-20, tapi dalam waktu yang singkat ini aku sudah mendapat kabar berpulangnya beberapa orang ke rumah Tuhan a.k.a meninggal. 

Kabar pertama aku dapat dari berpulangnya artis Ria Irawan. Meski aku lebih banyak mengenalnya lewat karya dan lewat berita, namun karena kedekatan Mba Ria dengan beberapa orang teman dekatku, juga karena aku pernah membantunya sebagai volunteer di pemutaran film yang di sutradarainya. Jadi sedikit banyak aku juga merasa kehilangan. 

Kabar berikutnya, bukan dari kenalanku sih, tapi kenalan lama dari teman-temanku di WAG. Jadilah waktu itu kami membahas tentang kehidupan dan kematian di WAG. Plus mengenang kembali sahabat-sahabat kami yang sudah mendahului. Pokoknya hari itu jadi gloomy banget di WAG. 

Lalu 3 hari lalu, mendadak mendapat kabar bahwa salah seorang warga lingkungan akhirnya juga dipanggil Tuhan setelah menderita sakit selama kurang-lebih 3 bulan. Padahal baru saja aku berpikir untuk menjenguknya lagi sambil membawakan paket jeruk Imlek. Ehhh pesanan paket jeruk Imleknya belum datang, orangnya sudah dipanggil Tuhan. 

Dan untuk kabar meninggalnya tante ini, cukup membuat terpukul keluargaku. Karena kebetulan tante ini sangat perhatian dengan nenekku. Dulu setiap nenekku punya acara di rumah atau ulang tahun atau sakit, tante ini yang sibuk mengkoordinir orang-orang lingkunganku untuk datang. Makanya waktu mendengar tante ini sakit, nenekku paling cerewet mengingatkan kami untuk menjenguk beliau. Nenekku pun sebenarnya ingin sekali menjenguk si tante ini ketika ia sakit, sayang kondisi fisik nenekku pun sudah tidak memungkinkan, sehingga aku melarangnya untuk ikut menjenguk.

Kabar terakhir yang tidak kalah membuat lemas, tentu saja kepergian selamanya artis senior Ade Irawan, yang adalah ibu kandung dari Mba Ria Irawan, yang hanya berselang 12 hari dari meninggalnya sang putri Ria Irawan.

*** 

Dalam sebuah kehidupan tidak pernah ada hal yang pasti, kecuali perubahan dan kematian. Semua hal yang HIDUP pasti akan MATI. Mau manusia, mau hewan, mau tumbuhan, pokoknya semua yang HIDUP pasti akan MATI pada waktunya. Nah waktunya kapan, dan caranya seperti apa yah ngga tau. Cuma Tuhan yang tau. 

Bagi aku sendiri, sebagai seseorang yang (masih) hidup dengan depresi dan pernah mengalami “MATI” secara psikis dan iman, KEMATIAN secara fisik bukan hal yang menakutkan lagi. Bagiku kematian mungkin hanya seperti tidur yang sangat amat lelap. Yang saking lelapnya, seluruh indraku sudah tidak akan merasakan apapun lagi. Begitu nyaman, begitu damai. 

Yang aku pikirkan saat ini hanyalah bagaimana aku akan mati nanti? dan kapan aku akan mati?

Seperti yang banyak orang ketahui, depresi adalah salah satu masalah kesehatan mental yang bisa membuat penderitanya bunuh diri. Sehingga dua pertanyaaan diatas sebenarnya bisa saja aku rancang sendiri, dan aku tentukan sendiri. Tapi aku masih seseorang yang mengakui Tuhan sebagai pemilik seutuhnya dari hidupku. Sehingga meskipun dulu aku pernah 3x mencoba bunuh diri, dan terkadang kembali berpikir untuk bunuh diri, tapi aku sudah tidak berani melakukannya lagi. Aku tidak ingin mendahului kehendak Tuhan. Maka dari itu aku mati-matian berjuang mengalahkan “si jahat” yang hidup di pikiranku. Dalam doaku setiap hari, aku juga selalu memohon kekuatan untuk terus berjuang di jalan Tuhan. 

*** 

KEMATIAN hanya akan terjadi pada KEHIDUPAN. 

Saat kematian sudah bukanlah hal yang menakutkan, makanya ketakutan berikutnya justru pada KEHIDUPAN itu sendiri. Yah aku adalah orang yang takut pada KEHIDUPAN. Aku takut untuk hidup terlalu lama atau terlalu tua. Aku takut setelah berjuang mati-matian, dan menghabiskan banyak waktu dan biaya namun “Si Jahat” tetap saja memenangkan pertarungan ini. Aku takut hidup sendiri. Aku takut hidup menyusahkan orang lain. Intinya aku takut hidup. 

Tapi KEHIDUPAN adalah proses menuju KEMATIAN. Saat kematian menjadi hal yang pasti, maka yang harus kita jalani adalah KEHIDUPAN. 

Lewat berbagai sharing iman dan pengalaman spiritual, aku menemukan bahwa yah KEHIDUPAN adalah sebuah PERJALANAN. Bila kita ingin sebuah kematian yang indah dan nyaman, maka kita harus menyiapkan kematian itu dengan memberikan keindahan dan kenyamanan dalam hidup kita dengan melakukan banyak kebaikan. Dan kita bisa melihat keindahan dan merasa nyaman dalam hidup saat kita bisa bersyukur atas semua yang Tuhan berikan. 

Setiap PERJALANAN pasti memiliki JARAK TEMPUH. Sayangnya jarak tempuh yang kita punya dalam perjalanan kehidupan hanya Tuhan juga yang tau. Dan pastinya masing-masing orang memiliki JARAK TEMPUH yang berbeda-beda. Namun bila seseorang sudah berhasil membuat dirinya sendiri merasa nyaman dalam perjalanan kehidupan, pastinya jarak tempuh akan menjadi tidak terasa lagi. Tau-tau sudah sampai tujuan. Tau-tau perjalanan kehidupan kita sudah berakhir. 

Inilah yang membuatku setiap hari berusaha memberikan rasa nyaman pada diriku sendiri dengan belajar mensyukuri segala hal yang aku miliki. Aku pun berusaha menikmati waktuku bersama orang-orang tercinta. Karena aku tidak tau sampai kapan aku bisa bersama dengan mereka.


Grey_S

Friday, January 17, 2020

I just need SUPPORT



Seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya, aku hidup dengan depresi sudah 20 tahun lebih. Selama 20 tahun lebih itu pula, dengan kesadaranku, aku mencoba bertahan hidup dan tidak menyerah dengan “si jahat” yang hidup di otakku. 

Dulu sebelum aku mengerti bahwa semua orang mungkin memiliki masalah kejiwaan, sama seperti mereka mungkin saja memilki masalah kesehatan fisik, aku selalu berpikir aku hanya kurang bersyukur dan kurang dekat dengan Tuhan. Atau terlalu berpikiran negative saja. Maka dari itu, pada awalnya aku mencoba mengatasi depresiku dengan meditasi, menulis di blog, lebih banyak berdoa, pergi ret-ret, atau konseling ke konselor di gereja. 

Selain itu aku juga menginvestasikan uang yang kumiliki untuk pergi-pergi ke seminar pengembangan diri. Aku berharap dengan mengikuti seminar-seminar itu, aku lebih berpikiran positif. Bahkan aku pernah menghabiskan uangku hanya untuk mengikuti kelas Hypnotherapi. Lagi-lagi dengan tujuan, aku bisa membuang semua hal tentang “si jahat” yang hidup di otakku. 

Tapi ketika semua usaha tidak berhasil aku lakukan untuk mengusir “si jahat” mau tidak mau aku menuruti nasehat kawanku yang memang bergerak di pencegahan bunuh diri untuk meminta bantuan orang yang lebih professional. Akhirnya sekitar tahun 2017an, untuk pertama kalinya aku dalam hidup untuk pergi ke Psikitater. 

Dan sesuai dugaanku biaya konseling per jam-nya cukup mahal. Ditambah lagi ternyata, menurut si dokter, aku sudah harus mengkonsumsi obat, karena depresi yang aku idap sudah belasan tahun waktu itu. Sudah terlambat untuk diatasi tanpa bantuan obat. Jadilah sejak saat itu, aku harus mengalihkan sekitar 20-30% dari penghasilanku untuk biaya obat dan ke dokter. 

Kenapa aku harus bayar sendiri, yah karena aku belum menemukan asuransi yang mengcover biaya pengobatan masalah kejiwaan. BPJS katanya bisa, tapi lokasinya sangat tidak bersahabat denganku, ditambah waktu antrian yang juga sangat tidak bersahabat. Itu pun dengar-dengar, waktu konseling bahkan tidak mencapai 1 jam. Paling hanya 30-45 menit. 

Bener sih setelah rutin konseling dan minum obat, kondisi perasaanku menjadi jauh lebih baik. Bahkan beberapa hal buruk yang sempat terjadi di tahun 2018 bisa aku lalui dengan cukup baik dan diluar dugaanku. Meski tetap saja aku ngga terlalu yakin apakah itu karena pengaruh obat, atau karena pengaruh akhirnya aku bisa mengeluarkan uneg-uneg, atau karena memang sedang tidak ada pemicu saja. 

Sampai akhirnya tahun 2019 pertengahan, dokter mengijinkanku untuk menghentikan pemakaian obat-obatanku, bahkan tidak mewajibkanku untuk datang konseling rutin lagi. Beliau bilang, “Silahkan datang bilang memang kamu merasa butuh aja.” 

Bisa kalian bayangkan betapa senangnya aku saat dinyatakan “sembuh”? Setelah hampir 2,5 tahun, aku harus ikat pinggang dengan keuanganku akhirnya aku bisa menabung lagi. Selain itu aku juga tidak perlu lagi bermacet-macet ria menuju klinik setiap minggu. 

Sayangnya “kesembuhanku”sepertinya belum bisa permanen. Baru beberapa bulan aku berhenti dari obat, aku kembali merasa “si jahat” datang lagi menghantuiku. Aku tidak tahu apakah si jahat kembali datang karena aku sedang bermasalah dengan pasanganku, atau karena aku mengalami SAD (Seasonal affective disorder) yaitu suatu jenis depresi yang disebabkan oleh cuaca yang terlalu mendung. 

Namun yang pasti perasaanku kembali menjadi sangat sensitive. Tiba-tiba menjadi sulit konsentrasi, sulit tidur, sesak napas saat tidur, atau bahkan menjadi malas untuk bangun dari kasurku. Dan semua hal itu selalu terjadi pada saat aku diam seorang diri. Bila ada orang lain di sisiku, atau teman yang mengajakku bicara, semua menjadi lebih baik. 

Kebetulan aku pernah membaca di Tweet dokter Ryuhasan, bahwa memang yang paling dibutuhkan dari penderita depresi adalah TEMAN atau SUPPORT. Dan pastinya teman / support yang dimaksud bukan teman yang tidak jelas dari dunia maya, atau bukan teman palsu yang hanya suka melihat “drama kehidupan” si penderita saja. Teman yang dimaksud pastinya orang yang terdekat, orang yang bisa membuat si penderita percaya untuk berbagi cerita tanpa takut dihakimi, dan yang bisa mendukung mereka dalam menghadapi masalahnya. 

Sebenarnya aku memiliki banyak teman yang cukup layak untuk disebut “TEMAN” karena aku yakin mereka tidak akan menghakimi saat aku menceritakan masalahku. Namun factor keakraban yang kurang tetap menjadi pertimbanganku untuk TIDAK berbagi hal-hal yang cukup pribadi kepada mereka. Buatku cukuplah berbagi kebahagian dengan mereka, namun untuk berbagi duka (mungkin) nanti dulu. Aku sih selalu berusaha untuk selalu ada buat teman-temanku yang membutuhkan, namun aku tidak ingin membebani mereka untuk selalu ada buatku. Aku pun tidak ingin mereka merasa kasihan dengan kondisiku. 

Aku juga tidak pernah berbagi masalahku dengan anggota keluarga. Satu, karena aku masih takut akan stigma yang menempel dengan masalah kejiwaan. Jujur saja, keluargaku, kecuali adikku yang memang juga berprofesi sebagai psikolog klinis, masih tidak ada yang memahami akan pentingnya masalah kesehatan jiwa. Buat keluargaku, masalah kesehatan jiwa = gila = tidak mampu bertanggung jawab akan diri sendiri. 

Alasan kedua, aku tidak mau membebani pikiran mereka atas masalahku yang secara notabene, awalnya yah berasal dari akumulasi luka batin karena masalah keluarga juga. Jadi yah memang untuk beberapa hal pribadi, aku memilih untuk tidak pernah terbuka dengan keluargaku. 

Tentang aku sampai mendapat bantuan professional a.k.a Psikiater dan diharuskan mengkonsumsi obat, selama ini hanya kekasihku dan satu sahabat baikku yang tau. Karena hanya ke mereka berdua, aku tidak bisa menyembunyikan masalahku sama sekali. Sayangnya ntah karena mereka juga tidak paham dengan masalah kesehatan jiwa, atau ntah lah. Aku tidak mau berasumsi. Yang pasti reaksi mereka dengan kondisiku saat ini cukup membuatku tambah sedih. 

Saat aku berusaha untuk bercerita, sahabatku malah mengatakan “itu mah bukan depresi lo kambuh, lo aja yang kebanyakan tidur.” 

Sewaktu liburan bersama di awal tahun, kekasihku malah mengatakan “di dekade baru ini, please yah kurang-kurangin tuh pikiran negatif kamu.” Kata-kata yang malah membuatku bengong karena tidak menyangka aja akan keluar dari bibirnya. Padahal aku sangat berharap dia adalah orang yang paling mengerti dengan kondisiku, termasuk dengan masalah kesehatan jiwaku. Apalagi kami sudah bersama hampir 8 tahun, dan tidak pernah ada yang aku tutupi dari dia. 

Dan “pikiran negative” itu sendiri menurutku tidak selalu membawa hal buruk. Kadang-kadang pikiran negative malah membuatku berhasil menghitung dan meminimalisir resiko dalam mengambil keputusan. Meski kebanyakan yah karena saraf otakku aja yang bermasalah. 

Tapi ya sudah sih bila tidak ada orang yang dapat memberikanku SUPPORT, mau ngga mau aku harus berusaha mensupport diriku sendiri. Menulis blog ini lagi juga merupakan salah satu caraku untuk mensupport diriku sendiri, meski aku tidak tahu akan seberapa mampu therapy menulis ini menolongku mengusir “si jahat”. 

Kalau ternyata masih tidak terlalu menolong yah berarti mau ngga mau, aku harus kembali ke Psikitaterku untuk konseling. Yang artinya aku pasti disuruh konsumsi obat lagi untuk jangka waktu yang aku ngga tau berapa panjang. Yang artinya juga, aku harus keluar biaya lagi yang cukup besar. Tapi yah mau gimana lagi. 


Grey_S