“Kamu tuh bodoh atau apa sih?” oceh temanku ketika dia mendengar lagi cerita lanjutanku tentang Huang.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, tapi aku terima pernyataannya bahwa aku memang bodoh. Tapi bukankah bodoh dalam cinta adalah hal yang biasa? Bukankah cinta itu memang tidak pakai logika, seperti lagunya Agnez Mo? Bukankah hati memang tidak bisa memilih ia ingin jatuh kepada siapa?
“Kamu sadar ngga sih, cintamu itu cuma ILUSI.” Lanjutnya lagi.
Lagi-lagi aku tidak mau menjawab ocehannya, karena percuma, penjelasanku hanya akan menjadi perdebatan diantara kami. Namun sejak pertama kali aku patah hati pada Huang, aku menolak cintaku dikatakan ilusi. Menurutku cinta yang hanyalah ilusi, jika yang aku cintai adalah karakter fiktif, seperti tokoh-tokoh Webtoon atau Manga favoritku atau para selebriti dunia. Tapi Huang bukanlah karakter fiktif. Aku sudah bertemu dengannya, aku pernah berbicara dan berbagi cerita dengannya, aku pernah makan bersamanya, aku pernah hang out bersamanya karena itu aku mempercayai keberadaan Huang.
Saat aku menyadari perasaanku kepada Huang, aku percaya itu sebuah perasaan yang NYATA. Hasrat yang nyata, cinta yang nyata. Dan karena aku sungguh-sungguh nyata dalam mencintainya, 11 tahun yang lalu aku memutuskan melepaskannya dari cintaku. Agar ia bisa menjadi dirinya sendiri, agar ia tidak terbebani dengan cintaku, agar dia bisa sungguh-sungguh berbahagia dengan pilihan hatinya.
Dan ternyata meski sudah belasan tahun berlalu, perasaanku terhadap Huang masih tetap sama seperti dulu, saat kami pertama bertemu.
“Dia tuh hanya butuh kamu karena kemarin itu dia sedang bermasalah?” lanjut temanku semakin emosi.
Saat bertemu Huang lagi setelah 11 tahun kami memutuskan untuk hidup masing-masing, aku justru mendapatkan refleksi baru tentang cinta Tuhan kepadaku, lewat cintaku yang bertepuk sebelah tangang kepada Huang. Aku baru menyadari betapa Tuhan mencintaiku, di usiaku yang ke-36 jalan ke 37. Dimana selama 36 tahun hidupku, aku hanya datang kepada Tuhan dikala aku sedang bermasalah, dan membutuhkan keluh kesah, setelah masalahku berlalu, aku kembali melupakanNya. Aku bahkan tidak pernah menyadari bahwa Ia selalu hadir dalam setiap detik kehidupanku. Bahwa Ia selalu menjaga dan menyertaiku di setiap masalah yang aku hadapi.
“Kamu tuh ngga capek yah? Aku yang dengernya aja capek loh.” Emosi temanku sepertinya semakin tidak terbendung
Capek? Aku pun pernah merenungkan pertanyaan ini. “apakah Tuhan pernah merasa capek dalam mencintai aku yang sama sekali tidak peka ini?” aku rasa jawabannya TIDAK.
Aku yakin Tuhan tidak pernah merasa capek dalam mencintaiku dan seluruh umatNya yang lain, karena itu Ia tetap membiarkan matahari menyinari bumi untuk menjadi waktu pergantian hari, Ia tetap membiarkan hujan membasahi bumi dan memberi kesegaran, Ia tetap membiarkan oksigen tersisa untuk dihirup cuma-cuma.
Karena Tuhan mencintaiku dengan sabar sampai aku menyadari hal tersebut, begitu pula aku harus bisa mencintai orang yang menolak dan melukai hatiku dengan sabar. Bukan untuk mengharapkannya membalas cintaku di kemudian hari, namun hanya untuk menyatakan bahwa cintaku adalah NYATA.
Aku memang masih manusia biasa yang bisa merasa capek saat menghadapi orang-orang di sekitarku. Apalagi kepada orang-orang yang terang-terangan mengecewakanku, menolakku, membuatku sedih. Tapi aku juga belajar, bila aku terus memohon untuk diberi hati yang bisa mencintai dengan tulus, yang bisa mencintai tanpa mengharapkan balas, yang bisa selalu memaafkan, maka Ia akan mengabulkan. Memang berat, tapi bukankah itu yang Ia ajarkan?
“Kamu tuh terlalu mencari ARTI di setiap peristiwa. Dibawa santai aja napa?” di akhir ocehannya.
Justru dengan merenungkan setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku, aku jadi bisa melihat peristiwa itu dari sudut pandang yang berbeda. Dengan melihat dari sudut pandang yang berbeda, aku jadi bisa lebih cepat berdamai dengan keadaan, dan bisa belajar untuk bersikap lebih baik ke depannya. Jadi apa salahnya?
“Apa kamu tidak memikirkan perasaan pasanganmu?”
Huang adalah masa laluku, jauh sebelum aku bertemu dengan pasanganku. Aku hanya berharap pasanganku dapat sungguh-sungguh menerima masa laluku, dengan seluruh proses yang pernah aku lewati.
Huang adalah takdir yang harus aku temui, proses yang harus aku lewati. Aku tidak pernah menyesali pertemuanku dengan Huang. Aku juga tidak pernah menyesali cintaku yang bertepuk sebelah tangan dengan Huang.
Lagi pula, aku berhutang sebuah jalan kehidupan dari Huang. Tanpa mengenalnya dan patah hati kepadanya, mungkin aku tidak akan pernah belajar untuk lepas bebas. Mungkin aku tidak akan pernah menyadari betapa besarnya cinta Tuhan kepadaku. Dan aku tidak akan menjadi aku yang sekarang.
Tentang aku yang masih mencintai Huang dulu, sekarang, dan entah sampai kapan, memang hanyalah keegoisanku untuk membahagiakan diriku sendiri. Aku menyadari secara penuh, jika bisa hidup bersama Huang hanyalah sebuah keserakahan bagiku, dan tetap bisa berada di sisinya dikala ia membutuhkanku sudah merupakan kemewahan bagiku. Maka itu aku sudah tidak berharap kami bisa bersama. Yah semoga saja pasanganku dapat menerima aku yang egois ini. Toh saat ini aku hanya bisa berdoa untuk Huang, semoga ia sungguh menemukan kebahagiaan sejati bersama pilihan hatinya.
Grey_S