Saturday, December 21, 2019

Tentang Mami

Sejak kecil saya tidak tinggal bersama keluarga inti, tapi tinggal Bersama emak dan engkong, yang tidak lain adalah orang tua dari Mami. Entah alasan sebenarnya apa, tapi dari cerita emak hal ini dikarenakan Engkong tidak ingin cucu pertamanya ini di urus oleh orang lain karena mami dan papi saat itu harus bekerja. Akhirnya sejak kecil saya sudah terbiasa jika hanya bisa bertemu dengan mami, papi dan adik saya di akhir pekan atau liburan saja.

Kadang orang suka bertanya, “Kalau begitu kamu lebih dekat dengan Emak dong dibandingkan dengan Mami-mu?” “Hmmm…. Kalau lebih sering ketemu, iya. Jelas saya lebih sering ketemu dengan Emak karena tinggal serumah. Tapi kalau kedekatan secara batin, menurut saya sama saja kok. Emak dan Mami sama-sama wanita yang paling melekat dalam hidup saya. Pernah saya merasa tidak akan bisa hidup tanpa mereka berdua.

Meski dalam beberapa hal, saya lebih mirip sama Emak, tapi ada satu kesamaan antara saya dan Mami yang tidak dapat disangkal. Saya dan Mami sama-sama orang yang memiliki kesulitan untuk mengekspresikan perasaan dan sulit berkomunikasi dengan orang terdekat. Bila tidak ada yang memancing komunikasi dengan bertanya, maka kami tidak akan bercerita.

Dan kami berdua sama-sama lebih mudah mengungkapan perasaan lewat tulisan. Hal ini saya sadari, saat mami pernah mengirimkan email kepada saya, hanya untuk bertanya tentang teman-teman kerja saya, siapa orang terdekat saya dan beberapa hal sepele lainnya. Hal yang seharusnya bisa ditanyakan saat saya sedang bersama mami di akhir pekan atau via telp. Sejak saat itu, bila sedang berdua saja dengan mami, saya berusaha untuk lebih banyak bicara dan mencairkan suasana. Meski tentu juga tidak mudah untuk saya.

Meskipun jarang ngobrol santai berdua, tapi mami paling tau apa yang saya butuhkan. Khususnya yang bersangkutan dengan fashion. Semua baju kerja saya, baju pergi kondangan, sepatu, sampai make up mami yang pilihin. Karena mami tau, saya paling malas cari-cari pakaian formal. Kalau aku yang beli sendiri paling mentok pasti belinya kaos oblong atau kaos polo dan celana selutut.

Dari luar Mami juga terlihat sangat keras, galak, dan jutek. Hampir semua orang yang kenal mami mengatakan hal itu. Tapi buat yang mengenal Mami lebih dalam, pasti tau kalau sebenarnya mami berhati lembut. Bahkan sejak kecil saya sering nangis bareng Mami cuma gara-gara nonton bareng film atau serial drama Hongkong atau Taiwan atau Korea.

Begitu juga di rumah, meski mami adalah anggota keluarga tergalak, tapi semua tau kalau mami sebenarnya sangat menyayangi seluruh keluarga besarnya. Semua keponakan pun dianggap anak sendiri. Bahkan beberapa diantaranya ikut memanggil mami dengan sebutan Mami juga.


***

Kepergian mami untuk selamanya sangat mengejutkan bagi kami sekeluarga dan juga bagi teman-temannya. Apalagi mami meninggal persis di hari ulang tahunnya. Padahal saat itu teman-temannya sedang merencanakan pesta kejutan untuk ulang tahun mami. Tapi sebenarnya mami sudah memberikan tanda-tanda sejak beberapa bulan sebelumnya. Mulai dari mami tiba-tiba menyerahkan surat-surat penting ke adik saya untuk disimpan. Sampai membeli mobil dengan warna favorit saya, padahal dia sama sekali ngga suka dengan warna itu.

Kurang lebih 1-2 bulan terakhir hidup mami, juga baru ketahuan bahwa kondisi kesehatan mami kurang bagus. Itu pun setelah dibujuk-bujuk oleh semua keluarga untuk periksa ke dokter. Setiap kali diajak check up mami selalu bilang “Haduuuhhh… mami mah ngga mau lah hidup sampai terlalu tua. Trus banyak penyakitnya. Mami mah maunya kayak Engkong aja.” Dan kejadian… Mami meninggal di usia yang sama seperti Engkong, yaitu 63 tahun.

Saat diberi kabar tentang kondisi kesehatan mami yang kurang bagus oleh tante dan sepupuku yang dokter, saya merasa sangat terpukul. Apalagi kondisi kesehatan Emak saat itu juga kurang bagus. Sehingga saya harus menghadapi kenyataan bahwa 2 orang tercinta saya sedang tidak baik-baik saja. Jujur kenyataan ini sempat membuat depresiku kambuh, dan membuat saya sendiri harus berada dalam pengawasan psikiater.

Tapi saat itu mami berhasil meyakinkan saya dan adik, bahwa mami baik-baik saja. Mami masih ikut menjaga emak di rumah sakit saat emak dirawat. Mami juga masih mengajak saya untuk shopping bareng mencari kado ulang tahun untuk keponakan saya, mencari baju kerja baru dan rok hitam panjang untuk persiapan konser FOAS tahun lalu. Dan mami tetap menolak dirawat di rumah sakit. Karena menurut mami itu terlalu “lebay”, kebetulan dokter yang merawat mami juga bilang kondisi mami ada kemajuan yang sangat bagus.

Akhirnya saat itu saya hanya bisa berdoa Rosario Pembebasan. Saya berdoa agar kedua orang yang saya cintai itu terbebas dari segala sakit penyakit mereka dan diberi umur panjang, karena saya belum siap kalau harus kehilangan mereka. Tapi di setiap akhir doa, saya juga selalu menyebutkan “terjadilah padaku menurut kehendakMu Tuhan. Dan berilah hamba kekuatan untuk menjalani kehendakMu.”

Saat saya memutuskan untuk mendoakan Rosario Pembebasan, sebenarnya saya sadar mungkin saja “pembebasan” yang dimaksud adalah dengan kepergian selamanya dari orang yang saya sayangi, tapi saat itu egoku masih menyangkal. Makanya saya tetap berdoa mohon agar mereka diberi umur panjang.

Beberapa hari sebelum Mami meninggal, saya dan adik saya sudah merencanakan untuk acara ulang tahun mami. Meski bukan pesta, tapi namanya orang tua ulang tahun sudah sewajarnya anak cucu berkumpul. Karena mami pernah bilang mau nyobain makan di restaurant jepang di Lippo Mall, ya sudah saya dan adik saya memutuskan mengambil cuti di tanggal 29 November itu untuk mengajak mami makan siang bersama.

Tidak disangka, ketika hari baru memasuki tanggal 29 November, sekitar jam 12.30an lewat tengah malam. Adik saya menelpon. Saya kira mau membicarakan tentang rencana ulang tahun mami. Ternyata dia menginfokan bahwa Papi baru saja menelpon kalau Mami pingsan. Saya kaget, tapi tetap berusaha tenang. Lalu saya mencoba telepon ke Papi untuk mengkonfirmasi keadaan mami, dengan suara bergetar papi cuma bilang “Mami pingsan, dan sampai sekarang belum sadar. Badannya juga agak dingin. Papi bingung. Monic sih lagi kemari mau bawa mami ke rumah sakit, karena papi ngga kuat gotongnya.” Firasat saya sudah tidak enak, tapi saya tetap berusaha berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. Saat itu saya malah berpikir kalau mami cuma kena stroke karena gula darahnya drop.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, sekujur badan saya juga ikutan dingin karena tegang. Apalagi tante dan sepupu saya yang dokter tidak bisa dihubungi sama sekali saat itu. Untung ada sahabat saya yang kebetulan sedang menginap, ikut mendampingi. Sesampainya di rumah sakit, adik saya segara menemui saya sambil menangis “Ci, kata dokter mami udah ngga ada. Ini masih di usahain sih, tapi kalau dalam 15 menit lagi detak jantungnya tetap tidak kembali artinya mami udah ngga ada.” Lalu saya bilang ke adik saya, “Ngga lha. Selama masih diusahakan, artinya masih ada harapan.” Saat itu ego saya benar-benar belum bisa melepas mami. Selama 15 menit menunggu, saya berdoa memohon keajaiban, benar-benar memohon agar Tuhan mengembalikan mami ke saya, karena saya belum siap ditinggal mami.

Tapi Tuhan berkehendak lain. Tidak ada adegan seperti di sinetron yang karena di doakan, tiba-tiba detak jantung mami muncul lagi. Tidak ada. Setelah waktu yang ditentukan detak jantung mami tetap tidak kembali, maka dokter menyerah. Dan seperti orang yang kalah perang, meski sudah berusaha sekuat tenaga, saya lunglai. Saya pasrah mendengar keputusan dokter. Bahkan untuk marah terhadap Tuhan ataupun menangis berlinang air mata, saya tidak sanggup. Saya hanya merasa kosong. Mungkin inilah yang dimaksud “Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umatNya.”

***

“Bahagia karena Melepas, Menderita karena terikat.”, kata-kata itu saya baca di salah satu buku Anthony de Mello. Saya adalah penggemar karya-karya beliau sejak kecil. Tepatnya sejak saya berusia 9 tahunan, saat itu Mami membelikan saya buku “Burung Berkicau” dengan alasan simple, ceritanya bagus. Padahal kalau dibaca ulang, sebenarnya isi buku tersebut cukup berat untuk anak usia 9 tahun.

Kembali ke pepatah “Bahagia karena Melepas”, melepaskan orang yang kita cintai itu memang sangat sulit. Tidak semudah mengucapkannya. Saat membaca tema tersebut pun saya sadar, kalau ini adalah teori yang sangat sulit untuk dipraktekan. Namun bila kita sadar bahwa orang yang kita cintai sudah bahagia, masa iya kita tidak ikut tenang dan berbahagia. Apalagi dari cerita Papi, saya tau ternyata Mami meninggal dengan sangat enak. Sedang asik nonton drama Korea berdua dengan papi, lalu karena mami merasa kedinginan, mami mengambil jaket di lemari, setelah itu ambruk di ranjang. Bahkan papi mengira mami hanya tertidur, sehingga agak terlambat memberikan pertolongan pertama.

Akhirnya setiap kali aku merasa sedih karena mengingat bahwa mami sudah tidak ada, aku juga berusaha mengingat bahwa mami sudah bahagia bersama Yesus, sudah dibebaskan dari sakit penyakitnya, sudah tidak ada lagi penderitaan. Sudah tidak ada lagi yang perlu aku cemaskan. Saat ini tinggal bagaimana aku berbuat baik, agar suatu saat nanti aku pun bisa berkumpul lagi dengan orang-orang yang aku cintai. 



Note : Sharing ini aku tulis untuk memperingati 1 tahun meninggalnya mami, sekaligus untuk Konser Peringatan Hari Raya Orang Beriman 2019. 

No comments: