Sejak
kecil saya tidak tinggal bersama keluarga inti, tapi tinggal Bersama emak dan
engkong, yang tidak lain adalah orang tua dari Mami. Entah alasan sebenarnya
apa, tapi dari cerita emak hal ini dikarenakan Engkong tidak ingin cucu
pertamanya ini di urus oleh orang lain karena mami dan papi saat itu harus
bekerja. Akhirnya sejak kecil saya sudah terbiasa jika hanya bisa bertemu
dengan mami, papi dan adik saya di akhir pekan atau liburan saja.
Kadang
orang suka bertanya, “Kalau begitu kamu lebih dekat dengan Emak dong
dibandingkan dengan Mami-mu?” “Hmmm…. Kalau lebih sering ketemu, iya. Jelas saya
lebih sering ketemu dengan Emak karena tinggal serumah. Tapi kalau kedekatan
secara batin, menurut saya sama saja kok. Emak dan Mami sama-sama wanita yang
paling melekat dalam hidup saya. Pernah saya merasa tidak akan bisa hidup tanpa
mereka berdua.
Meski
dalam beberapa hal, saya lebih mirip sama Emak, tapi ada satu kesamaan antara saya
dan Mami yang tidak dapat disangkal. Saya dan Mami sama-sama orang yang
memiliki kesulitan untuk mengekspresikan perasaan dan sulit berkomunikasi
dengan orang terdekat. Bila tidak ada yang memancing komunikasi dengan
bertanya, maka kami tidak akan bercerita.
Dan
kami berdua sama-sama lebih mudah mengungkapan perasaan lewat tulisan. Hal ini saya
sadari, saat mami pernah mengirimkan email kepada saya, hanya untuk bertanya
tentang teman-teman kerja saya, siapa orang terdekat saya dan beberapa hal
sepele lainnya. Hal yang seharusnya bisa ditanyakan saat saya sedang bersama
mami di akhir pekan atau via telp. Sejak saat itu, bila sedang berdua saja
dengan mami, saya berusaha untuk lebih banyak bicara dan mencairkan suasana.
Meski tentu juga tidak mudah untuk saya.
Meskipun
jarang ngobrol santai berdua, tapi mami paling tau apa yang saya butuhkan.
Khususnya yang bersangkutan dengan fashion. Semua baju kerja saya, baju pergi
kondangan, sepatu, sampai make up mami yang pilihin. Karena mami tau, saya
paling malas cari-cari pakaian formal. Kalau aku yang beli sendiri paling
mentok pasti belinya kaos oblong atau kaos polo dan celana selutut.
Dari
luar Mami juga terlihat sangat keras, galak, dan jutek. Hampir semua orang yang
kenal mami mengatakan hal itu. Tapi buat yang mengenal Mami lebih dalam, pasti
tau kalau sebenarnya mami berhati lembut. Bahkan sejak kecil saya sering nangis
bareng Mami cuma gara-gara nonton bareng film atau serial drama Hongkong atau
Taiwan atau Korea.
Begitu
juga di rumah, meski mami adalah anggota keluarga tergalak, tapi semua tau
kalau mami sebenarnya sangat menyayangi seluruh keluarga besarnya. Semua
keponakan pun dianggap anak sendiri. Bahkan beberapa diantaranya ikut memanggil
mami dengan sebutan Mami juga.
***
Kepergian
mami untuk selamanya sangat mengejutkan bagi kami sekeluarga dan juga bagi
teman-temannya. Apalagi mami meninggal persis di hari ulang tahunnya. Padahal
saat itu teman-temannya sedang merencanakan pesta kejutan untuk ulang tahun
mami. Tapi sebenarnya mami sudah memberikan tanda-tanda sejak beberapa bulan
sebelumnya. Mulai dari mami tiba-tiba menyerahkan surat-surat penting ke adik
saya untuk disimpan. Sampai membeli mobil dengan warna favorit saya, padahal
dia sama sekali ngga suka dengan warna itu.
Kurang
lebih 1-2 bulan terakhir hidup mami, juga baru ketahuan bahwa kondisi kesehatan
mami kurang bagus. Itu pun setelah dibujuk-bujuk oleh semua keluarga untuk
periksa ke dokter. Setiap kali diajak check up mami selalu bilang “Haduuuhhh…
mami mah ngga mau lah hidup sampai terlalu tua. Trus banyak penyakitnya. Mami
mah maunya kayak Engkong aja.” Dan kejadian… Mami meninggal di usia yang sama
seperti Engkong, yaitu 63 tahun.
Saat
diberi kabar tentang kondisi kesehatan mami yang kurang bagus oleh tante dan
sepupuku yang dokter, saya merasa sangat terpukul. Apalagi kondisi kesehatan
Emak saat itu juga kurang bagus. Sehingga saya harus menghadapi kenyataan bahwa
2 orang tercinta saya sedang tidak baik-baik saja. Jujur kenyataan ini sempat
membuat depresiku kambuh, dan membuat saya sendiri harus berada dalam
pengawasan psikiater.
Tapi
saat itu mami berhasil meyakinkan saya dan adik, bahwa mami baik-baik saja.
Mami masih ikut menjaga emak di rumah sakit saat emak dirawat. Mami juga masih
mengajak saya untuk shopping bareng mencari kado ulang tahun untuk keponakan
saya, mencari baju kerja baru dan rok hitam panjang untuk persiapan konser FOAS
tahun lalu. Dan mami tetap menolak dirawat di rumah sakit. Karena menurut mami
itu terlalu “lebay”, kebetulan dokter yang merawat mami juga bilang kondisi
mami ada kemajuan yang sangat bagus.
Akhirnya
saat itu saya hanya bisa berdoa Rosario Pembebasan. Saya berdoa agar kedua
orang yang saya cintai itu terbebas dari segala sakit penyakit mereka dan
diberi umur panjang, karena saya belum siap kalau harus kehilangan mereka. Tapi
di setiap akhir doa, saya juga selalu menyebutkan “terjadilah padaku menurut
kehendakMu Tuhan. Dan berilah hamba kekuatan untuk menjalani kehendakMu.”
Saat
saya memutuskan untuk mendoakan Rosario Pembebasan, sebenarnya saya sadar
mungkin saja “pembebasan” yang dimaksud adalah dengan kepergian selamanya dari
orang yang saya sayangi, tapi saat itu egoku masih menyangkal. Makanya saya
tetap berdoa mohon agar mereka diberi umur panjang.
Beberapa
hari sebelum Mami meninggal, saya dan adik saya sudah merencanakan untuk acara
ulang tahun mami. Meski bukan pesta, tapi namanya orang tua ulang tahun sudah
sewajarnya anak cucu berkumpul. Karena mami pernah bilang mau nyobain makan di
restaurant jepang di Lippo Mall, ya sudah saya dan adik saya memutuskan
mengambil cuti di tanggal 29 November itu untuk mengajak mami makan siang
bersama.
Tidak
disangka, ketika hari baru memasuki tanggal 29 November, sekitar jam 12.30an
lewat tengah malam. Adik saya menelpon. Saya kira mau membicarakan tentang
rencana ulang tahun mami. Ternyata dia menginfokan bahwa Papi baru saja
menelpon kalau Mami pingsan. Saya kaget, tapi tetap berusaha tenang. Lalu saya
mencoba telepon ke Papi untuk mengkonfirmasi keadaan mami, dengan suara
bergetar papi cuma bilang “Mami pingsan, dan sampai sekarang belum sadar.
Badannya juga agak dingin. Papi bingung. Monic sih lagi kemari mau bawa mami ke
rumah sakit, karena papi ngga kuat gotongnya.” Firasat saya sudah tidak enak,
tapi saya tetap berusaha berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. Saat itu
saya malah berpikir kalau mami cuma kena stroke karena gula darahnya drop.
Sepanjang
perjalanan ke rumah sakit, sekujur badan saya juga ikutan dingin karena tegang.
Apalagi tante dan sepupu saya yang dokter tidak bisa dihubungi sama sekali saat
itu. Untung ada sahabat saya yang kebetulan sedang menginap, ikut mendampingi.
Sesampainya di rumah sakit, adik saya segara menemui saya sambil menangis “Ci,
kata dokter mami udah ngga ada. Ini masih di usahain sih, tapi kalau dalam 15
menit lagi detak jantungnya tetap tidak kembali artinya mami udah ngga ada.” Lalu
saya bilang ke adik saya, “Ngga lha. Selama masih diusahakan, artinya masih ada
harapan.” Saat itu ego saya benar-benar belum bisa melepas mami. Selama 15
menit menunggu, saya berdoa memohon keajaiban, benar-benar memohon agar Tuhan
mengembalikan mami ke saya, karena saya belum siap ditinggal mami.
Tapi
Tuhan berkehendak lain. Tidak ada adegan seperti di sinetron yang karena di
doakan, tiba-tiba detak jantung mami muncul lagi. Tidak ada. Setelah waktu yang
ditentukan detak jantung mami tetap tidak kembali, maka dokter menyerah. Dan seperti
orang yang kalah perang, meski sudah berusaha sekuat tenaga, saya lunglai. Saya
pasrah mendengar keputusan dokter. Bahkan untuk marah terhadap Tuhan ataupun
menangis berlinang air mata, saya tidak sanggup. Saya hanya merasa kosong.
Mungkin inilah yang dimaksud “Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi
kemampuan umatNya.”
***
“Bahagia
karena Melepas, Menderita karena terikat.”, kata-kata itu saya baca di salah
satu buku Anthony de Mello. Saya adalah penggemar karya-karya beliau sejak
kecil. Tepatnya sejak saya berusia 9 tahunan, saat itu Mami membelikan saya
buku “Burung Berkicau” dengan alasan simple, ceritanya bagus. Padahal kalau
dibaca ulang, sebenarnya isi buku tersebut cukup berat untuk anak usia 9 tahun.
Kembali
ke pepatah “Bahagia karena Melepas”, melepaskan orang yang kita cintai itu
memang sangat sulit. Tidak semudah mengucapkannya. Saat membaca tema tersebut
pun saya sadar, kalau ini adalah teori yang sangat sulit untuk dipraktekan. Namun
bila kita sadar bahwa orang yang kita cintai sudah bahagia, masa iya kita tidak
ikut tenang dan berbahagia. Apalagi dari cerita Papi, saya tau ternyata Mami
meninggal dengan sangat enak. Sedang asik nonton drama Korea berdua dengan
papi, lalu karena mami merasa kedinginan, mami mengambil jaket di lemari,
setelah itu ambruk di ranjang. Bahkan papi mengira mami hanya tertidur,
sehingga agak terlambat memberikan pertolongan pertama.
Akhirnya
setiap kali aku merasa sedih karena mengingat bahwa mami sudah tidak ada, aku
juga berusaha mengingat bahwa mami sudah bahagia bersama Yesus, sudah
dibebaskan dari sakit penyakitnya, sudah tidak ada lagi penderitaan. Sudah
tidak ada lagi yang perlu aku cemaskan. Saat ini tinggal bagaimana aku berbuat
baik, agar suatu saat nanti aku pun bisa berkumpul lagi dengan orang-orang yang
aku cintai.
Note : Sharing ini aku tulis untuk memperingati 1 tahun meninggalnya mami, sekaligus untuk Konser Peringatan Hari Raya Orang Beriman 2019.
No comments:
Post a Comment