Malam ini ada teman yang sedang galau di Twitter
sepertinya, sehingga akhirnya memancing perbincangan tentang MELEPASKAN ini.
Karena ini merupakan topic yang cukup
panjang, aku memilih untuk menuliskannya via blog aja. Kalau ada yang nemu syukur,
kalau ngga ada yang nemu pun, tulisan ini cukup buat sharing pribadi aja dan
pengingat kembali untuk diriku sendiri.
Oh ya, tulisan ini tidak akan berbicara
tentang bagaimana cara MELEPASKAN atau MENGIKLHASKAN, karena sebagai manusia
yang masih belajar di dunia, aku sendiri belum 100% berhasil menjadi orang yang
ILKHAS, tapi sedikit banyak aku sedang berproses, dan proses ini yang ingin aku
bagikan.
***
Sejak kecil, aku memiliki keterikatan
yang sangat kuat terhadap cukup banyak hal. Mulai dari orang-orang terdekat,
sampai hal sepele seperti sendok dan garpu pribadi. Yup sendok dan garpu.
Peralatan makan adalah hal yang normal
bila kita menggunakan bersama, berbeda dengan pakaian atau hal-hal pribadi
lainnya yang memang tidak aneh bila orang tidak ingin berbagi penggunaannya. Tapi
dulu aku memiliki kecemasan bila tidak makan atau minum menggunakan peralatan
makan dan minum pribadiku. Seakan-akan rasa makanan akan berubah bila aku tidak
menggunakan peralatan makan dan minum pribadi.
Sampai-sampai dulu, nenekku selalu
memisahkan peralatan makan dan minumku di tempat khusus agar orang lain tidak
menggunakannya. Dan pernah ada masanya aku menggunakan keterikatanku ini
sebagai lelucon karena aku tidak pernah berhasil punya pasangan. Aku sering mengatakan
“Mungkin aku baru bisa punya pasangan, saat aku sudah bisa melepaskan alat-alat
makanku untuk orang lain.”
Bahkan kadang karena terikat akan “kenangan”
aku tidak bisa membuang banyak barang. Aku sering sampai sakit-sakitan bila
harus berpisah dengan orang terdekat. Dan semakin aku terikat, semakin aku
depresi. Aku menjadi takut ditinggalkan. Aku takut dibuang. Aku menjadi merasa
tidak berharga sama sekali.
Hingga pada suatu hari sekitar tahun
2010, aku jatuh cinta dengan seseorang. Aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Jatuh
cinta terdalam dalam sepanjang perjalanan hidupku. Karena dia satu-satunya
orang yang berhasil membuatku mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama. Wanita
yang 100% sesuai dengan wanita impianku. Wanita yang aku pikir tidak akan
pernah ada didunia. Dan tiba-tiba dia ada dihadapanku. Dia diperkenalkan
kepadaku, lewat jalan yang tidak kalah dramatis. Kalau diingat-ingat, cerita
cintaku saat itu bisa lah dijadikan skenario FTV.
Setelah perkenalan yang dramatis itu,
kami sempat dekat. Saling follow social media, lanjut chat pribadi. Ketemuan
(lagi), jalan bareng, makan bareng. Semua begitu sempurna, dan akhirnya aku
memutuskan aku tidak ingin memendam perasaan terlalu lama. Dia single, aku
single. So what??
Aku pun menyatakan perasaanku kepadanya. Namun
alih-alih diterima, aku ditolaknya. Dan yang menyakitkan dia menolakku karena
memilih wanita bersuami yang sudah memiliki anak. Namun aku masih belum
menyerah, aku masih berusaha mencintainya meski hanya sebagai teman. Aku berharap
suatu saat dia berpaling kepadaku. Tapi hubungan kami malah semakin memburuk.
Kejadian itu kembali membuatku marah
kepada Tuhan. Aku marah karena Tuhan seakan-akan meledekku dengan mengenalkan
dia kepadaku. Kalau dia bukan tercipta untukku, mengapa takdir mengenalkannya
kepadaku.
Disaat aku galau, saat itu aku
menyempatkan diri untuk membaca buku yang sudah lama aku beli, namun belum
sempat aku baca. Ntah kenapa saat berdiri di depan rak buku, aku bisa memilih
buku DIPANGGIL UNTUK MENCINTA karya Anthony de Mello.
Aku masih ingat, aku membeli buku itu di toko
buku Pertapaan Romo Yohanes di Cipanas. Dan aku beli buku itu karena aku adalah
penggemar cerita-cerita renungan dari Anthony de Mello sejak kecil. Karena dulu
belum ada mbah Google, aku sempat mengira Anthony de Mello hanya menulis buku
renungan menggunakan cerita-cerita pendek. Aku tidak menyangka, banyak buku dia
justru yang sangat berat dan menggunakan bahan dari Alkitab sebagai renungan.
Kembali ke buku DIPANGGIL UNTUK MENCINTA,
buku itu cukup tipis, hanya 124 halaman, tapi untuk menyelesaikan membaca buku
itu aku membutuhkan waktu lebih dari 6 bulan. Setiap bab-nya benar-benar
menampar egoku. Setiap malam, saat membaca dan merenungkan isinya, aku selalu
menangis. Bahkan ada kalanya aku sampai tidak mau lagi membaca buku tersebut. Karena
isinya terlalu menyakitkan hati. Bagaimana mungkin bila kita mencintai, maka
kita harus melepaskannya. Bagaimana mungkin bila kita mencintai, maka kita
harus merelakannya. Bagaimana mungkin???
Egoku terus berkecamuk. Meski disisi
lain, aku mengakui semua yang tertulis dibuku itu benar adanya.
Singkat cerita, akhirnya aku berhasil
menyelesaikan membaca buku itu, meski membutuhkan waktu lebih dari 6 bulan. Luar
biasanya setelah itu, aku berhasil melepaskan diri dari peralatan makan
pribadi. Aku pun berhasil melepaskan diri bayang-bayang sosok idaman untuk
dijadikan kekasihku. Doaku dalam meminta pasangan saat itu berubah. Bahkan aku
berdoa agar Tuhan tidak membiarkan aku JATUH CINTA lagi. Beberapa bulan setelah
itu, aku bertemu kembali dengan seseorang yang menjadi kekasihku sekarang.
Dalam hampir 8 tahun kami bersama, banyak
hal yang membuat aku harus merelakan untuk melepas kekasihku. Luar biasanya
saat aku berusaha merelakan untuk melepas kekasihku, ia pun tidak pernah benar-benar
melepasku. Kemana pun kekasihku “pergi”, dia selalu kembali kepadaku.
Belajar melepaskan, membuat aku lebih
mudah dalam menjalani banyak hal. Karena aku tidak terikat lagi, sehingga aku
tidak takut kehilangan lagi. Termasuk ketika aku harus melepaskan Mamiku yang harus
berpulang ke rumah Tuhan secara mendadak.
Akhirnya aku mengerti arti dari pepatah “BAHAGIA
KARENA MELEPAS, MENDERITA KARENA TERIKAT”.
Namun aku sadar sebagai manusia, belajar
melepaskan dan mengiklhaskan ini sangat tidak mudah dan tidak akan pernah selesai. Bahkan mungkin
sampai akhir hayat pun kita masih harus belajar melepaskan dan mengiklhaskan
kehidupan kita untuk kembali ke rumah Tuhan, tanpa membawa apapun harta duniawi
yang kita punya.
Grey_S
Baca juga :
No comments:
Post a Comment