2008
adalah salah satu titik balik dari kehidupanku.
Saat
itu dengan kemarahan dan kekecewaan, aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan
orang-orang yang mengasihiku dan aku kasihi. Tapi mungkin memang saat itu pergi
menjauh adalah solusi terbaik untuk menenangkan diri.
Selama
hampir setahun di negeri orang, berkenalan dengan orang baru, pengalaman baru,
dan waktu yang sangat cukup untuk merenung dan mendekatkan diri dengan Tuhan,
sedikit banyak mulai menghapus luka batin di hatiku.
Aku
mulai bisa berdamai dengan diriku sendiri, aku mulai bisa memaafkan orang-orang
yang melukai hatiku, orang-orang yang menolakku, aku mulai berdamai dengan
Tuhan yang menciptakanku sebagaimana adanya diriku, yang mungkin tidak sesuai
dengan harapan orang-orang di sekelilingku. Aku mulai belajar mencintai diriku
sendiri. Setidaknya itu akan menjadi modal untuk menghadapi penolakan orang
lain terhadap diriku.
2009
meski belum sepenuhnya berani menghadapi masa lalu dan kenyataan, tapi aku
terpaksa pulang ke Jakarta. Waktuku untuk mempersiapkan diri sudah habis, tiba
waktuku untuk menghadapi kenyataan, untuk mempraktekan pelajaran tentang
berdamai dengan keadaan.
Pertama
kali kembali ke Jakarta, pertama kali bertemu kembali dengan keluarga, aku
masih diliputi perasaan asing. Aku bahkan sempat home sick. Home sick dirumahku
sendiri. Asing ditengah keluargaku sendiri. Aneh banget kan? Tapi itu karena
memang aku masih belum sepenuhnya merasa diterima di rumah sendiri. Aku masih
merindukan kota tempat aku melarikan diri dan bisa menjadi diri sendiri. Tapi
dengan berjalannya waktu tentu aku mulai terbiasa lagi dan beban berat yang aku
bawa ketika aku memutuskan pergi dulu, sudah tidak ada. Ntah beban itu sudah
tidak ada atau memang aku yang sudah bertambah kuat.
2010
akhirnya aku bisa merasakan jatuh cinta lagi. Hidupku yang biasa-biasa saja,
tanpa warna, mulai berwarna lagi. Pertemuan yang tidak terduga, seseorang yang
tidak terduga, cinta yang tidak terduga. Namun ternyata semua itu hanyalah
“pelajaran” tahap berikutnya dari Tuhan. Sekali lagi aku harus merasakan
penolakan.
Aku
yang masih merasa ditolak oleh keluargaku, harus kembali merasakan penolakan
yang menyakitkan dari orang yang kusukai. Untungnya saat itu aku sudah tau apa
yang harus aku lakukan. BERDOA.
Seperti
seorang murid yang gagal, aku kembali bertanya kepada Sang Maha Guru, “Tuhan,
kali ini apa yang salah? Kenapa aku masih belum bisa mendapatkan
kebahagiaanku?”
Maka
saat itu aku harus kembali belajar ilmu tentang Melepaskan dan Cinta yang
membebaskan. Melepaskan ego-ku, melepaskan semua sakit hatiku, dan kembali
belajar bagaimana memaafkan orang yang menyakiti hatiku. Selain itu aku belajar
untuk mencintai orang lain dengan membebaskan orang tersebut memilih sendiri
caranya untuk dicintai.
Dengan
kata lain, aku belajar menerima semua orang dengan semua perbedaan yang mereka
miliki. Aku belajar untuk tetap menerima orang yang menolakku. Toh kalau kita
mau diterima apa adanya, maka kita pun harus bisa menerima apa adanya.
LEVEL
PASSED.
Beberapa
bulan setelah aku berhasil melewati pelajaran tentang Melepaskan dan Cinta yang
membebaskan. Aku akhirnya bertemu dengan orang yang bisa menerimaku apa adanya.
Aku pun belajar untuk selalu menerima dia apa adanya. Sehingga kami masih
bersama sampai sekarang.
Hidupku
pun perlahan berubah. Aku yang sebelumnya menjadi pengemis cinta, kini aku bisa
merasakan begitu banyaknya cinta dari orang-orang disekitarku. Ternyata semakin
banyak aku membagikan cintaku kepada orang-orang disekitarku, semakin banyak
pula aku menerima cinta dari orang-orang lain.
Masalah
datang silih berganti, tapi kekuatan cinta yang aku miliki selalu menyelamatkan
hidupku.
Sampai
akhirnya tiba hari ini.
Setelah
10 tahun aku hidup dalam kedamaian, tiba-tiba luka batinku di masa lalu terbuka
lagi.
Papi
yang marah karena aku menolak membantunya lagi dalam urusan hutang piutang, mengungkit
semua kepahitan di masa laluku. Dia mengungkit semua alasan kenapa aku tidak
layak dia terima. Dia mengungkit hal-hal kenapa aku tidak layak menjadi
anaknya. Dia bilang dia merasa ditolak olehku sebagai ayah, padahal tanpa
disadari dialah yang selalu menolakku sebagai anak.
Di
hari yang sama, tiba-tiba orang yang menolakku di masa lalu juga kembali
membicarakan aku. Dia kembali mengingat-ingat awal pertemuan kami. Kami yang
sudah sekian lama tidak pernah bertemu lagi maupun bertegur sapa, tiba-tiba
saling menceritakan kenangan yang ada di ingatan kami.
Aku
tidak tahu apa yang masih diingatnya tentangku, yang pasti ingatanku tentangnya
masih tidak bisa kuhapus. Aku bahkan masih mengingat jelas pertemuan pertama
kami. Degub jantungku hari itu, duniaku yang teralihkan olehnya hari itu, semua
masih jelas diingatan.
Tapi
mungkin itu karena alam bawah sadarku yang menolak untuk menghapus ingatanku
tentangnya, tentang pertemuan kami. Karena bagaimana pun juga, dialah orang
yang membawaku ke tahap selanjutnya dalam perjalanan imanku.
Hari
ini, setelah 10 tahun, sepertinya aku mulai masuk ke pelajaran hidup tahap
selanjutnya, yaitu Pengampunan.
Aku
harus mengampuni papi yang menolakku sebagai anaknya. Aku juga harus mengampuni
dia yang pernah menolakku menjadi kekasihnya. Dan ya… akan aku lakukan. Meski
sulit dan menyakitkan, tapi aku akan melakukannya. Meski akan terasa aneh dan
canggung saat bertemu lagi, tapi akan aku lakukan.
Karena
aku mengasihi mereka, aku mencintai mereka, dan aku sudah melepaskan semua
sakit hatiku terhadap mereka.
Grey_S
No comments:
Post a Comment