Bacaan Injil hari Senin 9 Juni 2025 diambil dari Yohanes 19:25-34, tapi ayat yang paling mengena untukku hari ini adalah di ayat 30, ketika Yesus pada akhirnya mengatakan “SUDAH SELESAI”.
Ketika aku mengikuti kelas Emaus Journey di 2021 yang lalu, buku terakhir yang digunakan adalah “Seven Last Words From The Cross” oleh Rich Cleveland. Dari 7 kata terakhir Yesus di kayu salib, yang paling berkesan untukku adalah kata “SUDAH SELESAI”. Yang menandakan bahwa Yesus sudah berhasil menjalani semua kehendak Allah Bapa dalam hidupNya dan sudah berhasil mengalahkan sisi kedaginganNya sendiri.
Sejak mempelajari buku tersebut, aku sangat terinspirasi oleh Yesus untuk pada akhirnya aku juga bisa mengatakan “SUDAH SELESAI” untuk semua tugas perutusanku di dunia ini. Dan ternyata kesempatan itu datang padaku di bulan Juni 2022.
***
Tanggal 8 Juni 2022, pagi itu aku terbangun dengan sedikit kaget setelah memimpikan almarhumah nenekku masuk ke dalam kamar tidurku sambil mengomel dengan suaranya yang melengking “Greyyyyyyy, tengokin tuh si Papi. Jangan sampai dia sudah masuk peti baru kamu tengokin.”
Tapi karena bagiku mimpi hanyalah sebuah bunga tidur, maka setelah terbangun penuh, aku tidak terlalu memikirkan tentang mimpi tersebut lagi. Apalagi ketika di Video Call beberapa hari sebelumnya, Papiku masih baik-baik saja.
Beberapa hari setelah hari itu, aku pergi mengikuti Retreat yang diadakan oleh Komunitas School By Spirit (SBS) di Wisma Samadi selama 5 hari 4 malam. Saat itu aku mengikuti Retreat tersebut sebagai hadiah ulang tahun bagi diriku sendiri, karena sejak 2021 aku menemukan kebahagian pada saat bisa memiliki waktu berkualitas dengan Tuhan di hari ulang tahunku.
Uniknya sepanjang retreat tersebut, selama 5 hari berturut-turut, rhema yang keluar untukku adalah “Bersiap-siaplah untuk kejutan dari Tuhan.” Dan melalui retreat itu aku juga jadi berkenalan dengan sahabat baik Mami-ku di lingkungan, yang sebenarnya beliau bukan anggota SBS namun diajak untuk mengikuti retreat tersebut.
2 hari setelah retreat berakhir, aku ada janji meeting dengan calon client di sebuah Mall yang lokasinya sangat dekat dengan rumah Papi. Hari itu hari Sabtu, yang dalam kepercayaan Papi itu adalah hari Sabat. Biasanya hari itu Papi akan pergi ke gereja dari pagi hingga sore.
Pagi itu ketika sedang bersiap-siap untuk meeting, ada suara yang terus-terusan mengganggu pikiranku “Dith, jenguk Papi. Kan kamu akan meeting di dekat sana, sekalian saja mampir untuk menjenguk Papi. Terserah kamu mau berapa lama, 10 menit, 5 menit, terserah. Tapi jenguklah Papi.”
Selama beberapa menit suara tersebut terus berperang dengan logikaku. Logikaku mengatakan “Buat apa mampir? Papi pasti sudah pergi ke gereja. Nanti sajalah kalau aku sudah agak senggang.” Tapi suara tersebut, tetap gigih memintaku untuk menjenguk Papi. Sampai akhirnya logikaku mengalah kepada suara tersebut.
Aku menelpon papi. Dan ternyata memang Sabat tersebut Papi memutuskan untuk tidak bepergian karena kata beliau kakinya sedang sakit. Beberapa bulan terakhir beliau memang mengeluhkan kalau dengkulnya sakit, sehingga kami berdua sedang rutin pergi terapi pijat bersama. Karena papi ada di rumah, maka aku berjanji untuk datang menjenguknya lebih dahulu sebelum pergi meeting.
Sesampainya di rumah Papi, aku sangat terkejut karena ternyata sakit kaki yang Papi maksud bukanlah sakit pada bagian dengkul seperti yang sebelumnya beliau keluhkan, namun ternyata karena ada luka borok sebesar uang koin pada mata kakinya. Dan yang lebih membuatku terkejut lagi adalah keadaan rumah yang sangat berantakan dengan ceceran darah dimana-mana.
Papi memang memiliki riwayat penyakit Diabetes, dan tidak pernah mau minum obat Diabetes atau pun memeriksakan diri karena kepercayaannya yang salah dengan ilmu kedokteran.
Karena awalnya Papi tetap tidak mau dibawa ke dokter, maka aku untuk pertolongan pertama, meminta tolong kepada sahabat mami yang aku temui ketika Retret SBS, untuk mencarikan ART untuk membantu papi beberes rumah, menyiapkan makanan, dan memantau kondisi papi setiap hari.
Aku juga meminta bantuan tanteku yang pensiunan dokter untuk merawat luka papi, dan partnerku yang sinshe untuk obat-obatannya papi. Dan ini bertahan hanya selama 1 minggu karena kondisi papi yang memburuk sehingga mau tidak mau, suka tidak suka beliau menyerah dan bersedia dibawa ke RS.
Pertama kali papi bersedia dirawat di RS, aku bingung apakah harus ikut menginap bersama beliau, atau bisa aku tinggal saja? Kalau menginap di RS artinya aku harus siap tidur dilantai tanpa kasur dan bantal, tapi kalau ditinggal khawatir sama Papi, dan pihak RS pun mewajibkan keluarga pasien untuk ikut berjaga.
Meski papi mengatakan untuk pulang saja, tapi suara yang membimbingku memintaku untuk tetap tinggal di RS. Benar saja, di malam hari ternyata ada beberapa kejadian dimana papi membutuhkan bantuanku. Untung aku mendengarkan suara itu.
***
Pada saat pertama kali aku mengetahu kondisi Papi, aku juga sempat mengeluh kepada Tuhan. “Tuhan, kok kejutan untukku begini amat sih?” lalu dalam kontemplasiku saat itu Tuhan menjawab “Kan kamu sudah Aku persiapkan sejak bulan Januari.”
Aku pun teringat pengalaman pertama kali mengikuti Latihan Rohani Pemula modul Gelap dan Terang, di bulan Januari 2022, yang saat itu masih diuji cobakan.
Di bulan Januari 2022, karena aku dan beberapa teman sedang mengalami pergumulan, Ko Robin mengajak kami mendoakan sekaligus menguji cobakan Latihan Rohani Pemula Modul Gelap dan Terang bersama. Pada waktu itu sebenarnya yang aku doakan adalah tentang pekerjaan dan keinginanku untuk keluar dari Jakarta, namun Rahmat yang aku dapatkan adalah kata-kata “Bagaimana kalau tugasmu saat ini bukanlah untuk mengejar karir tapi untuk merawat Papi?”
Saat itu aku bingung dengan Rahmat yang aku dapatkan. Papi masih sehat-sehat saja, dan Papi juga masih tinggal bersama 2 orang karyawan. Jadi buat apa aku merawat Papi? Ternyata hal itu terjawab beberapa bulan kemudian.
***
Singkat cerita, sepanjang 3 tahun terakhir kondisi papi memang naik turun. Sepanjang sisa tahun 2022, hampir sebulan sekali Papi pasti harus dirawat di RS, dan sempat beberapa kali juga masuk ke Ruang ICU. Dari yang awalnya aku berusaha merawat papi sendiri, sampai akhirnya aku harus membutuhkan bantuan caregiver untuk membantuku menjaga papi 24 jam. Karena tiap kali papi sehat sedikit, bandelnya papi kambuh dan tidak mau minum obat lagi, atau pun merawat lukanya lagi. Sedangkan aku pun tidak bisa 24 jam memantau papi terus menerus.
Di 2023 sampai quarter ke 3 di 2024 kondisi Papi cukup stabil, Papi sudah bisa ke gereja lagi, bahkan di awal 2024 kami sempat 2 kali pergi berlibur ke Villa di Cipanas. Namun mulai Oktober 2024 akhir, kondisi Papi kembali menurun jauh. Sepanjang semester pertama di 2025, Papi lebih banyak di Rumah Sakit dibanding di rumah sendiri. Bahkan di bulan Februari 2025 papi sempat mengalami koma dan berhenti detak jantung.
Aku yang sejak awal terpanggil untuk mendampingi Papi, ikut merasakan penderitaan Papi. Tiap kali papi berteriak-teriak minta tolong karena sesak napas atau saat seluruh badannya terasa sakit karena cuci darah, aku hanya bisa menangis sambil berdoa. Aku sadar ini adalah Jalan Salib yang harus kami lalui.
Sepanjang Jalan Salib ini, aku bersyukur banyak menerima bantuan-bantuan dari beberapa “Simon Kirene” yang hadir melalui sosok para Caregiver, Saudara-saudara yang siap membantu, dan teman-teman gereja Papi yang selalu ada untuk kami.
Aku juga tidak memungkiri, bahwa dalam menjalani Jalan Salib ini, aku sempat beberapa kali “terjatuh”. Hubunganku dengan Papi yang sudah sempat membaik, beberapa kali kembali memanas. Sebelum akhirnya aku disadarkan bahwa Papi menjadi sangat menyebalkan seperti itu karena sakitnya dan karena Demensia yang mulai di deritanya.
Puncaknya adalah di bulan Mei 2025, dimana selama 31 hari penuh Papi harus dirawat di RS tanpa bisa pulang sehari pun. Saat papi memaksa untuk pulang, baru pulang dibawah 12 jam, kami sudah terpaksa harus melarikan Papi kembali ke RS karena terjatuh dari ranjang dan mengalami pendarahan hebat.
3 hari papi kembali masuk RS, sebelum akhirnya beliau menghembuskan napas terakhirnya. Pastinya beliau sudah terlalu lelah dalam berjalan di Jalan Salib kami ini. Papi menghembuskan napas terakhirnya persis setelah aku selesai mendoakan Rosario, dan Papi dinyatakan sudah tidak ada oleh dokter yang bertugas tidak lama setelah aku selesai mendoakan Doa Koronka.
Saat itulah air mataku sudah tidak menjadi air mata penuh duka, namun menjadi air mata penuh haru, karena akhirnya kami bisa menyelesaikan Jalan Salib kami. Kami bisa mengklaim Mahkota Kebenaran seperti yang tertulis dalam 2 Timotius 4:7-8a “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan Tuhan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya”
Kami bisa dengan bangga mengatakan kepada semua orang “SUDAH SELESAI”.
Tugas perutusanku mendampingi papi “SUDAH SELESAI”.
Hidup Grey yang lama “SUDAH SELESAI”.
Kini di 9 Juni 2025, telah lahir Grey yang baru. Grey yang siap untuk melanjutkan tugas perutusan berikutnya.
AMDG