Seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya, aku hidup dengan depresi sudah 20 tahun lebih. Selama 20 tahun lebih itu pula, dengan kesadaranku, aku mencoba bertahan hidup dan tidak menyerah dengan “si jahat” yang hidup di otakku.
Dulu
sebelum aku mengerti bahwa semua orang mungkin memiliki masalah kejiwaan, sama
seperti mereka mungkin saja memilki masalah kesehatan fisik, aku selalu
berpikir aku hanya kurang bersyukur dan kurang dekat dengan Tuhan. Atau terlalu
berpikiran negative saja. Maka dari itu, pada awalnya aku mencoba mengatasi
depresiku dengan meditasi, menulis di blog, lebih banyak berdoa, pergi ret-ret,
atau konseling ke konselor di gereja.
Selain
itu aku juga menginvestasikan uang yang kumiliki untuk pergi-pergi ke seminar
pengembangan diri. Aku berharap dengan mengikuti seminar-seminar itu, aku lebih
berpikiran positif. Bahkan aku pernah menghabiskan uangku hanya untuk mengikuti
kelas Hypnotherapi. Lagi-lagi dengan tujuan, aku bisa membuang semua hal tentang
“si jahat” yang hidup di otakku.
Tapi
ketika semua usaha tidak berhasil aku lakukan untuk mengusir “si jahat” mau
tidak mau aku menuruti nasehat kawanku yang memang bergerak di pencegahan bunuh
diri untuk meminta bantuan orang yang lebih professional. Akhirnya sekitar
tahun 2017an, untuk pertama kalinya aku dalam hidup untuk pergi ke Psikitater.
Dan sesuai
dugaanku biaya konseling per jam-nya cukup mahal. Ditambah lagi ternyata,
menurut si dokter, aku sudah harus mengkonsumsi obat, karena depresi yang aku idap
sudah belasan tahun waktu itu. Sudah terlambat untuk diatasi tanpa bantuan
obat. Jadilah sejak saat itu, aku harus mengalihkan sekitar 20-30% dari
penghasilanku untuk biaya obat dan ke dokter.
Kenapa
aku harus bayar sendiri, yah karena aku belum menemukan asuransi yang mengcover
biaya pengobatan masalah kejiwaan. BPJS katanya bisa, tapi lokasinya sangat
tidak bersahabat denganku, ditambah waktu antrian yang juga sangat tidak
bersahabat. Itu pun dengar-dengar, waktu konseling bahkan tidak mencapai 1 jam.
Paling hanya 30-45 menit.
Bener
sih setelah rutin konseling dan minum obat, kondisi perasaanku menjadi jauh
lebih baik. Bahkan beberapa hal buruk yang sempat terjadi di tahun 2018 bisa
aku lalui dengan cukup baik dan diluar dugaanku. Meski tetap saja aku ngga terlalu
yakin apakah itu karena pengaruh obat, atau karena pengaruh akhirnya aku bisa mengeluarkan
uneg-uneg, atau karena memang sedang tidak ada pemicu saja.
Sampai
akhirnya tahun 2019 pertengahan, dokter mengijinkanku untuk menghentikan
pemakaian obat-obatanku, bahkan tidak mewajibkanku untuk datang konseling rutin
lagi. Beliau bilang, “Silahkan datang bilang memang kamu merasa butuh aja.”
Bisa
kalian bayangkan betapa senangnya aku saat dinyatakan “sembuh”? Setelah hampir
2,5 tahun, aku harus ikat pinggang dengan keuanganku akhirnya aku bisa menabung
lagi. Selain itu aku juga tidak perlu lagi bermacet-macet ria menuju klinik setiap
minggu.
Sayangnya
“kesembuhanku”sepertinya belum bisa permanen. Baru beberapa bulan aku berhenti
dari obat, aku kembali merasa “si jahat” datang lagi menghantuiku. Aku tidak
tahu apakah si jahat kembali datang karena aku sedang bermasalah dengan pasanganku,
atau karena aku mengalami SAD (Seasonal affective disorder) yaitu suatu jenis
depresi yang disebabkan oleh cuaca yang terlalu mendung.
Namun
yang pasti perasaanku kembali menjadi sangat sensitive. Tiba-tiba menjadi sulit
konsentrasi, sulit tidur, sesak napas saat tidur, atau bahkan menjadi malas
untuk bangun dari kasurku. Dan semua hal itu selalu terjadi pada saat aku diam
seorang diri. Bila ada orang lain di sisiku, atau teman yang mengajakku bicara,
semua menjadi lebih baik.
Kebetulan
aku pernah membaca di Tweet dokter Ryuhasan, bahwa memang yang paling
dibutuhkan dari penderita depresi adalah TEMAN atau SUPPORT. Dan pastinya teman
/ support yang dimaksud bukan teman yang tidak jelas dari dunia maya, atau bukan
teman palsu yang hanya suka melihat “drama kehidupan” si penderita saja. Teman yang
dimaksud pastinya orang yang terdekat, orang yang bisa membuat si penderita percaya
untuk berbagi cerita tanpa takut dihakimi, dan yang bisa mendukung mereka dalam
menghadapi masalahnya.
Sebenarnya
aku memiliki banyak teman yang cukup layak untuk disebut “TEMAN” karena aku
yakin mereka tidak akan menghakimi saat aku menceritakan masalahku. Namun factor
keakraban yang kurang tetap menjadi pertimbanganku untuk TIDAK berbagi hal-hal
yang cukup pribadi kepada mereka. Buatku cukuplah berbagi kebahagian dengan
mereka, namun untuk berbagi duka (mungkin) nanti dulu. Aku sih selalu berusaha
untuk selalu ada buat teman-temanku yang membutuhkan, namun aku tidak ingin membebani
mereka untuk selalu ada buatku. Aku pun tidak ingin mereka merasa kasihan
dengan kondisiku.
Aku juga
tidak pernah berbagi masalahku dengan anggota keluarga. Satu, karena aku masih
takut akan stigma yang menempel dengan masalah kejiwaan. Jujur saja, keluargaku,
kecuali adikku yang memang juga berprofesi sebagai psikolog klinis, masih tidak
ada yang memahami akan pentingnya masalah kesehatan jiwa. Buat keluargaku,
masalah kesehatan jiwa = gila = tidak mampu bertanggung jawab akan diri
sendiri.
Alasan
kedua, aku tidak mau membebani pikiran mereka atas masalahku yang secara
notabene, awalnya yah berasal dari akumulasi luka batin karena masalah keluarga
juga. Jadi yah memang untuk beberapa hal pribadi, aku memilih untuk tidak pernah
terbuka dengan keluargaku.
Tentang
aku sampai mendapat bantuan professional a.k.a Psikiater dan diharuskan
mengkonsumsi obat, selama ini hanya kekasihku dan satu sahabat baikku yang tau.
Karena hanya ke mereka berdua, aku tidak bisa menyembunyikan masalahku sama sekali.
Sayangnya ntah karena mereka juga tidak paham dengan masalah kesehatan jiwa,
atau ntah lah. Aku tidak mau berasumsi. Yang pasti reaksi mereka dengan kondisiku
saat ini cukup membuatku tambah sedih.
Saat
aku berusaha untuk bercerita, sahabatku malah mengatakan “itu mah bukan depresi
lo kambuh, lo aja yang kebanyakan tidur.”
Sewaktu
liburan bersama di awal tahun, kekasihku malah mengatakan “di dekade baru ini,
please yah kurang-kurangin tuh pikiran negatif kamu.” Kata-kata yang malah
membuatku bengong karena tidak menyangka aja akan keluar dari bibirnya. Padahal
aku sangat berharap dia adalah orang yang paling mengerti dengan kondisiku,
termasuk dengan masalah kesehatan jiwaku. Apalagi kami sudah bersama hampir 8
tahun, dan tidak pernah ada yang aku tutupi dari dia.
Dan “pikiran
negative” itu sendiri menurutku tidak selalu membawa hal buruk. Kadang-kadang
pikiran negative malah membuatku berhasil menghitung dan meminimalisir resiko
dalam mengambil keputusan. Meski kebanyakan yah karena saraf otakku aja yang
bermasalah.
Tapi
ya sudah sih bila tidak ada orang yang dapat memberikanku SUPPORT, mau ngga mau
aku harus berusaha mensupport diriku sendiri. Menulis blog ini lagi juga
merupakan salah satu caraku untuk mensupport diriku sendiri, meski aku tidak tahu
akan seberapa mampu therapy menulis ini menolongku mengusir “si jahat”.
Kalau
ternyata masih tidak terlalu menolong yah berarti mau ngga mau, aku harus
kembali ke Psikitaterku untuk konseling. Yang artinya aku pasti disuruh
konsumsi obat lagi untuk jangka waktu yang aku ngga tau berapa panjang. Yang artinya
juga, aku harus keluar biaya lagi yang cukup besar. Tapi yah mau gimana lagi.
Grey_S
No comments:
Post a Comment