Friday, January 17, 2020

I just need SUPPORT



Seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya, aku hidup dengan depresi sudah 20 tahun lebih. Selama 20 tahun lebih itu pula, dengan kesadaranku, aku mencoba bertahan hidup dan tidak menyerah dengan “si jahat” yang hidup di otakku. 

Dulu sebelum aku mengerti bahwa semua orang mungkin memiliki masalah kejiwaan, sama seperti mereka mungkin saja memilki masalah kesehatan fisik, aku selalu berpikir aku hanya kurang bersyukur dan kurang dekat dengan Tuhan. Atau terlalu berpikiran negative saja. Maka dari itu, pada awalnya aku mencoba mengatasi depresiku dengan meditasi, menulis di blog, lebih banyak berdoa, pergi ret-ret, atau konseling ke konselor di gereja. 

Selain itu aku juga menginvestasikan uang yang kumiliki untuk pergi-pergi ke seminar pengembangan diri. Aku berharap dengan mengikuti seminar-seminar itu, aku lebih berpikiran positif. Bahkan aku pernah menghabiskan uangku hanya untuk mengikuti kelas Hypnotherapi. Lagi-lagi dengan tujuan, aku bisa membuang semua hal tentang “si jahat” yang hidup di otakku. 

Tapi ketika semua usaha tidak berhasil aku lakukan untuk mengusir “si jahat” mau tidak mau aku menuruti nasehat kawanku yang memang bergerak di pencegahan bunuh diri untuk meminta bantuan orang yang lebih professional. Akhirnya sekitar tahun 2017an, untuk pertama kalinya aku dalam hidup untuk pergi ke Psikitater. 

Dan sesuai dugaanku biaya konseling per jam-nya cukup mahal. Ditambah lagi ternyata, menurut si dokter, aku sudah harus mengkonsumsi obat, karena depresi yang aku idap sudah belasan tahun waktu itu. Sudah terlambat untuk diatasi tanpa bantuan obat. Jadilah sejak saat itu, aku harus mengalihkan sekitar 20-30% dari penghasilanku untuk biaya obat dan ke dokter. 

Kenapa aku harus bayar sendiri, yah karena aku belum menemukan asuransi yang mengcover biaya pengobatan masalah kejiwaan. BPJS katanya bisa, tapi lokasinya sangat tidak bersahabat denganku, ditambah waktu antrian yang juga sangat tidak bersahabat. Itu pun dengar-dengar, waktu konseling bahkan tidak mencapai 1 jam. Paling hanya 30-45 menit. 

Bener sih setelah rutin konseling dan minum obat, kondisi perasaanku menjadi jauh lebih baik. Bahkan beberapa hal buruk yang sempat terjadi di tahun 2018 bisa aku lalui dengan cukup baik dan diluar dugaanku. Meski tetap saja aku ngga terlalu yakin apakah itu karena pengaruh obat, atau karena pengaruh akhirnya aku bisa mengeluarkan uneg-uneg, atau karena memang sedang tidak ada pemicu saja. 

Sampai akhirnya tahun 2019 pertengahan, dokter mengijinkanku untuk menghentikan pemakaian obat-obatanku, bahkan tidak mewajibkanku untuk datang konseling rutin lagi. Beliau bilang, “Silahkan datang bilang memang kamu merasa butuh aja.” 

Bisa kalian bayangkan betapa senangnya aku saat dinyatakan “sembuh”? Setelah hampir 2,5 tahun, aku harus ikat pinggang dengan keuanganku akhirnya aku bisa menabung lagi. Selain itu aku juga tidak perlu lagi bermacet-macet ria menuju klinik setiap minggu. 

Sayangnya “kesembuhanku”sepertinya belum bisa permanen. Baru beberapa bulan aku berhenti dari obat, aku kembali merasa “si jahat” datang lagi menghantuiku. Aku tidak tahu apakah si jahat kembali datang karena aku sedang bermasalah dengan pasanganku, atau karena aku mengalami SAD (Seasonal affective disorder) yaitu suatu jenis depresi yang disebabkan oleh cuaca yang terlalu mendung. 

Namun yang pasti perasaanku kembali menjadi sangat sensitive. Tiba-tiba menjadi sulit konsentrasi, sulit tidur, sesak napas saat tidur, atau bahkan menjadi malas untuk bangun dari kasurku. Dan semua hal itu selalu terjadi pada saat aku diam seorang diri. Bila ada orang lain di sisiku, atau teman yang mengajakku bicara, semua menjadi lebih baik. 

Kebetulan aku pernah membaca di Tweet dokter Ryuhasan, bahwa memang yang paling dibutuhkan dari penderita depresi adalah TEMAN atau SUPPORT. Dan pastinya teman / support yang dimaksud bukan teman yang tidak jelas dari dunia maya, atau bukan teman palsu yang hanya suka melihat “drama kehidupan” si penderita saja. Teman yang dimaksud pastinya orang yang terdekat, orang yang bisa membuat si penderita percaya untuk berbagi cerita tanpa takut dihakimi, dan yang bisa mendukung mereka dalam menghadapi masalahnya. 

Sebenarnya aku memiliki banyak teman yang cukup layak untuk disebut “TEMAN” karena aku yakin mereka tidak akan menghakimi saat aku menceritakan masalahku. Namun factor keakraban yang kurang tetap menjadi pertimbanganku untuk TIDAK berbagi hal-hal yang cukup pribadi kepada mereka. Buatku cukuplah berbagi kebahagian dengan mereka, namun untuk berbagi duka (mungkin) nanti dulu. Aku sih selalu berusaha untuk selalu ada buat teman-temanku yang membutuhkan, namun aku tidak ingin membebani mereka untuk selalu ada buatku. Aku pun tidak ingin mereka merasa kasihan dengan kondisiku. 

Aku juga tidak pernah berbagi masalahku dengan anggota keluarga. Satu, karena aku masih takut akan stigma yang menempel dengan masalah kejiwaan. Jujur saja, keluargaku, kecuali adikku yang memang juga berprofesi sebagai psikolog klinis, masih tidak ada yang memahami akan pentingnya masalah kesehatan jiwa. Buat keluargaku, masalah kesehatan jiwa = gila = tidak mampu bertanggung jawab akan diri sendiri. 

Alasan kedua, aku tidak mau membebani pikiran mereka atas masalahku yang secara notabene, awalnya yah berasal dari akumulasi luka batin karena masalah keluarga juga. Jadi yah memang untuk beberapa hal pribadi, aku memilih untuk tidak pernah terbuka dengan keluargaku. 

Tentang aku sampai mendapat bantuan professional a.k.a Psikiater dan diharuskan mengkonsumsi obat, selama ini hanya kekasihku dan satu sahabat baikku yang tau. Karena hanya ke mereka berdua, aku tidak bisa menyembunyikan masalahku sama sekali. Sayangnya ntah karena mereka juga tidak paham dengan masalah kesehatan jiwa, atau ntah lah. Aku tidak mau berasumsi. Yang pasti reaksi mereka dengan kondisiku saat ini cukup membuatku tambah sedih. 

Saat aku berusaha untuk bercerita, sahabatku malah mengatakan “itu mah bukan depresi lo kambuh, lo aja yang kebanyakan tidur.” 

Sewaktu liburan bersama di awal tahun, kekasihku malah mengatakan “di dekade baru ini, please yah kurang-kurangin tuh pikiran negatif kamu.” Kata-kata yang malah membuatku bengong karena tidak menyangka aja akan keluar dari bibirnya. Padahal aku sangat berharap dia adalah orang yang paling mengerti dengan kondisiku, termasuk dengan masalah kesehatan jiwaku. Apalagi kami sudah bersama hampir 8 tahun, dan tidak pernah ada yang aku tutupi dari dia. 

Dan “pikiran negative” itu sendiri menurutku tidak selalu membawa hal buruk. Kadang-kadang pikiran negative malah membuatku berhasil menghitung dan meminimalisir resiko dalam mengambil keputusan. Meski kebanyakan yah karena saraf otakku aja yang bermasalah. 

Tapi ya sudah sih bila tidak ada orang yang dapat memberikanku SUPPORT, mau ngga mau aku harus berusaha mensupport diriku sendiri. Menulis blog ini lagi juga merupakan salah satu caraku untuk mensupport diriku sendiri, meski aku tidak tahu akan seberapa mampu therapy menulis ini menolongku mengusir “si jahat”. 

Kalau ternyata masih tidak terlalu menolong yah berarti mau ngga mau, aku harus kembali ke Psikitaterku untuk konseling. Yang artinya aku pasti disuruh konsumsi obat lagi untuk jangka waktu yang aku ngga tau berapa panjang. Yang artinya juga, aku harus keluar biaya lagi yang cukup besar. Tapi yah mau gimana lagi. 


Grey_S

No comments: