Pengkotbah 1 : 2 – 11
“Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada. Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali. Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu. Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: "Lihatlah, ini baru!"? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada. Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datang pun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya.“
Bacaan liturgi hari ini (Kamis, 24 September 2020) sungguh
menampar wajah saya. Disatu sisi saya merasa tertampar, tapi disisi lain saya
merasa beruntung dan berbahagia karena mendapat kesempatan menemukan ayat ini
di Alkitab. Kitab suci umat Kristiani.
Sebenarnya kata-kata yang kurang lebih memiliki arti yang mirip,
sering saya temukan dalam ungkapan-ungkapan yang berasal dari ajaran Budha,
sehingga Ketika saya menemukan ungkapan yang sama dari Alkitab, Kitab Suci
agama saya sendiri, hal ini membuat saya sangat bahagia dan membuat iman saya
semakin dikuatkan. Saya menjadi tambah bersyukur diberi kesempatan untuk
memperdalam iman saya saat ini.
Sedikit sharing saya tentang renungan akan kesia-siaan ini.
Dulu, saat saya masih lebih muda dari sekarang, saya adalah
seorang yang sangat ambisius. Apalagi ditambah dengan kemajuan teknologi dan
social media yang sangat berkembang pesat sejak saya remaja hingga saat ini,
yang membuat saya sempat hidup dalam persaingan-persaingan semu dengan
teman-teman sebaya.
Si A baru lulus sudah mendapat pekerjaan di
perusahaan xxx, dengan jabatan yyy. Baru bekerja sekian lama sudah bisa
memiliki asset aaa, bbb, ccc, dan seterusnya.
Si B memiliki wajah dan fisik yang body goal
banget, punya pacar yang cakep dan sexy banget, kaya lagi.
Si C juga begini begitu, pokoknya bikin iri.
Kebutuhan untuk bisa ikut dipandang oleh orang lain, membuatku
selalu menerapkan standard sempurna untuk semua hal yang aku lakukan. Aku pun
bekerja keras mati-matian untuk semua hal yang aku impikan, yang ujung dari
semua itu adalah untuk mencapai kesempurnaan sesuai standard yang aku terapkan,
agar aku bisa mendapat perhatian dari orang-orang yang aku harapkan.
Tapi ternyata semua yang aku lakukan, semua yang aku kejar, dan
semua yang aku dapatkan, tetap tidak membuatku merasa bahagia. Aku malah hampir
kehilangan hal-hal yang sangat berharga dalam hidupku.
Kerja keras mati-matian, sampai pergi pagi pulang pagi lagi,
demi mendapat jabatan dan gaji yang tinggi, malah hampir membuatku kehilangan
waktu berharga dengan orang-orang yang kucintai dan mencintaiku. Aku pun hampir
kehilangan kesehatanku, karena terjebak dengan gaya hidup yang tidak sehat.
Berusaha menarik perhatian orang-orang yang kuharapkan menjadi
teman, dengan menghabiskan waktu luangku dengan mereka, juga ternyata malah
hampir membuatku kehilangan waktu dengan sahabat-sahabat sejatiku. Saat Bersama
orang-orang yang tidak jelas itu, aku bukannya mendapat persahabatan bagai
kempompong seperti yang kuharapkan, namun malah sering kali mendapatkan
pengkhianatan dan kepalsuan-kepalsuan belaka.
Kepahitan demi kepahitan, penolakan demi penolakan, kegagalan
demi kegagalan dalam mencapai kesempurnaan, malah akhirnya membuatku semakin
terjatuh ke dalam jurang kegelapan bernama DEPRESI.
Puji Tuhan, dititik-titik terendahku itu,
Tuhan masih menyelamatkan hidupku dengan memberikanku kemampuan untuk “mendengar
suara-suara positif” yang melintas di otakku.
“Sebenarnya apa sih yang sedang kamu lakukan Grey? Apa yang sedang kamu cari?”
“Bukankah kamu sudah memiliki semua yang belum tentu orang lain miliki?”
“Bukankah kamu tidak
pernah hidup dalam kekurangan sedikit pun?”
“Apa yang sedang kamu
pertahankan? Bukankah suatu saat pun memang semua akan berakhir?”
Yah. Bila suatu saat semua memang akan berakhir, maka semua yang aku perjuangkan untuk apa? Untuk siapa? Bukankah semua yang aku lakukan selama ini hanyalah sia-sia belaka?
Saat itulah pikiran pikiranku berkecamuk hebat. Antara ego-ku dan akal sehat-ku saling berperang. Ego-ku ingin mempertahankan standard kesempurnaan yang aku ciptakan sendiri dan yang berlaku dimata kebanyakan orang lain, tapi akal sehat-ku sudah lelah dengan semua itu.
Tidak mudah bagiku untuk “melepaskan” ego-ku
sebagai manusia. Sampai detik ini pun aku masih berjuang untuk benar-benar bisa
melepaskan ego-ku. Tapi kali ini aku ingin membawa Tuhan dalam setiap
perjuanganku melawan ego-ku sendiri. Karena memang sangat aku rasakan, hidup
dalam Tuhan, membuat semua beban hidupku terasa lebih ringan. Dan hidup dijalan
Tuhan, ternyata malah membuat hidupku lebih berarti.
Grey_s
No comments:
Post a Comment