Judul : Bintang Jatuh di Padang Rumput Inner Mongolia
Project : CC 1
Tanggal : ............ (lupa saking udah lamanya)
Selamat siang / malam rekan-rekan sejawat toastmaster. Hari ini saya akan membawakan Pidato Manual Basic 1.
Di China setiap tanggal 1 Oktober, merupakan hari raya kemerdekaan Negeri China. Maka itu setiap tanggal tersebut, semua kegiatan kantor dan sekolah di liburkan selama 1 minggu. Karena tahun lalu saya sedang berada di China, saya dan beberapa teman sesama anak Indonesia memutuskan untuk ikut berlibur bersama ke luar dari kota Beijing.
Karena mendengar dari senior-senior di sana Inner Mongolia sangat bagus pemandangannya, kami pun memutuskan pergi ke Inner Mongolia. Sekali lagi karena teman-teman mengatakan kalau pergi ke Inner Mongolia, kurang afdol bila tidak mencoba tinggal di rumah tenda, rumah tradional penduduk Mongol kami pun memilih tour yang menawarkan tinggal semalam di Rumah traditional.
Jarak antara kota Beijing dan Inner Mongolia tidak terlalu jauh. Hanya 12 jam menggunakan mobil. Dan ternyata memang benar seperti apa yang di ceritakan teman-teman senior di sana, pemandangan di Inner Mongolia sangat indah. Sepanjang mata memandang kami tidak melihat gedung-gedung tinggi, hanya hamparan rumput yang mulai menguning, langit yang biru, dan rumah-rumah traditional penduduk yang satu sama lainnya tampak serupa.
Ketika malam mulai menjelang, di langit tampak bertaburkan bintang-bintang yang berkilauan bagaikan permata. Sungguh saya belum pernah melihat pemandangan langit seindah itu, di Beijing, di Jakarta, atau pun di kota-kota lain yang pernah saya kunjungi.
Namun selain keindahannya, ternyata ada sedikit masalah yang baru muncul menjelang malam. Ternyata suhu udara di kota Inner Mongolia pada malam hari bisa mencapai 5’ celcius, apalagi saat itu sudah memasuki musim gugur. Dan ternyata di sana juga belum ada listrik. Mereka hanya menggunakan GenSet, itu pun hanya cukup untuk menyalakan lampu di toilet umum dan di dalam tenda. Sehingga kondisi di luar tenda, benar-benar gelap gulita. Tidak ada penerangan lain selain dari cahaya bintang dan bulan.
Menjelang subuh, mendadak saya merasa ingin pergi ke toilet. Awalnya saya ingin menahan hingga matahari terbit, namun sepertinya panggilan alam tersebut tidak bisa ditahan lagi. Akhirnya sekitar jam 3.30 pagi, saya beranikan diri keluar dari tenda dan pergi ke toilet umum sendirian.
Tidak ada masalah saat saya menuju ke toilet umum, karena di situ ada cahaya lampu. Masalah kembali muncul saat saya ingin kembali ke tenda. Saya tidak ingat yang mana tenda saya. Semua tenda tampak serupa, apalagi di tengah gelapnya malam.
Saya mencoba mengingat-ingat kembali jalan yang tadi saya tempuh dan mencoba mencari satu persatu yang mana tenda saya. Ini bukan, itu bukan. Saya mulai panik. Saya bahkan sempat berpikir kalau saya terpaksa harus menunggu di tengah suhu 5’ C sampai matahari terbit.
20 menit mencari tanpa hasil, akhirnya saya memutuskan untuk menenangkan diri dulu sambil menikmati bintang-bintang di langit.
Saat saya sedang memperhatikan bintang-bintang, tiba-tiba saja saya melihat ada sinar yang seperti garis berkelibat. Ternyata itu bintang jatuh. Seperti anak kecil yang percaya saat melihat bintang jatuh, permohonannya akan di kabulkan, saya pun mengajukan permohonan “Tuhan, saya ingin kembali ke tenda saya secepatnya”.
Dan tebak apa yang terjadi setelah itu? Tidak sampai 5 menit kemudian, ada yang menyapa saya dari belakang “Hei kamu lagi ngapain??” dan ketika saya menoleh ternyata itu salah seorang teman saya, yang juga baru dari toilet. Akhirnya karena mencari bersama-sama, tidak sampai 10 menit kami sudah menemukan kembali tenda kami.
Sampai sekarang saya tidak akan pernah melupakan pengalaman itu. Melihat bintang jatuh di tengah dinginnya padang rumput Inner Mongolia.
Di China setiap tanggal 1 Oktober, merupakan hari raya kemerdekaan Negeri China. Maka itu setiap tanggal tersebut, semua kegiatan kantor dan sekolah di liburkan selama 1 minggu. Karena tahun lalu saya sedang berada di China, saya dan beberapa teman sesama anak Indonesia memutuskan untuk ikut berlibur bersama ke luar dari kota Beijing.
Karena mendengar dari senior-senior di sana Inner Mongolia sangat bagus pemandangannya, kami pun memutuskan pergi ke Inner Mongolia. Sekali lagi karena teman-teman mengatakan kalau pergi ke Inner Mongolia, kurang afdol bila tidak mencoba tinggal di rumah tenda, rumah tradional penduduk Mongol kami pun memilih tour yang menawarkan tinggal semalam di Rumah traditional.
Jarak antara kota Beijing dan Inner Mongolia tidak terlalu jauh. Hanya 12 jam menggunakan mobil. Dan ternyata memang benar seperti apa yang di ceritakan teman-teman senior di sana, pemandangan di Inner Mongolia sangat indah. Sepanjang mata memandang kami tidak melihat gedung-gedung tinggi, hanya hamparan rumput yang mulai menguning, langit yang biru, dan rumah-rumah traditional penduduk yang satu sama lainnya tampak serupa.
Ketika malam mulai menjelang, di langit tampak bertaburkan bintang-bintang yang berkilauan bagaikan permata. Sungguh saya belum pernah melihat pemandangan langit seindah itu, di Beijing, di Jakarta, atau pun di kota-kota lain yang pernah saya kunjungi.
Namun selain keindahannya, ternyata ada sedikit masalah yang baru muncul menjelang malam. Ternyata suhu udara di kota Inner Mongolia pada malam hari bisa mencapai 5’ celcius, apalagi saat itu sudah memasuki musim gugur. Dan ternyata di sana juga belum ada listrik. Mereka hanya menggunakan GenSet, itu pun hanya cukup untuk menyalakan lampu di toilet umum dan di dalam tenda. Sehingga kondisi di luar tenda, benar-benar gelap gulita. Tidak ada penerangan lain selain dari cahaya bintang dan bulan.
Menjelang subuh, mendadak saya merasa ingin pergi ke toilet. Awalnya saya ingin menahan hingga matahari terbit, namun sepertinya panggilan alam tersebut tidak bisa ditahan lagi. Akhirnya sekitar jam 3.30 pagi, saya beranikan diri keluar dari tenda dan pergi ke toilet umum sendirian.
Tidak ada masalah saat saya menuju ke toilet umum, karena di situ ada cahaya lampu. Masalah kembali muncul saat saya ingin kembali ke tenda. Saya tidak ingat yang mana tenda saya. Semua tenda tampak serupa, apalagi di tengah gelapnya malam.
Saya mencoba mengingat-ingat kembali jalan yang tadi saya tempuh dan mencoba mencari satu persatu yang mana tenda saya. Ini bukan, itu bukan. Saya mulai panik. Saya bahkan sempat berpikir kalau saya terpaksa harus menunggu di tengah suhu 5’ C sampai matahari terbit.
20 menit mencari tanpa hasil, akhirnya saya memutuskan untuk menenangkan diri dulu sambil menikmati bintang-bintang di langit.
Saat saya sedang memperhatikan bintang-bintang, tiba-tiba saja saya melihat ada sinar yang seperti garis berkelibat. Ternyata itu bintang jatuh. Seperti anak kecil yang percaya saat melihat bintang jatuh, permohonannya akan di kabulkan, saya pun mengajukan permohonan “Tuhan, saya ingin kembali ke tenda saya secepatnya”.
Dan tebak apa yang terjadi setelah itu? Tidak sampai 5 menit kemudian, ada yang menyapa saya dari belakang “Hei kamu lagi ngapain??” dan ketika saya menoleh ternyata itu salah seorang teman saya, yang juga baru dari toilet. Akhirnya karena mencari bersama-sama, tidak sampai 10 menit kami sudah menemukan kembali tenda kami.
Sampai sekarang saya tidak akan pernah melupakan pengalaman itu. Melihat bintang jatuh di tengah dinginnya padang rumput Inner Mongolia.
Grey_S