Sekitar 2 mingguan yang lalu, aku sempat dibuat galau dengan kecurigaan orangtua atas kedekatanku dengan kekasihku. Hanya karena kesalahpahaman, aku diberondong oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatiku perih. Hatiku perih karena melihat mamiku menangis, ia tidak terima bila putrinya menjalin kasih dengan sesama wanita. Hatiku juga perih karena mau tidak mau, untuk menenangkan keadaan, aku terpaksa berbohong tentang hubunganku dengan kekasihku.
Awal mula kesalahpahaman itu dari curhat adik sepupuku yang sedang bermasalah dengan kekasihnya, maksud hati ingin memberi menyemangati ia secara tidak langsung melalui status BBM, yang tanpa kusadari sedang memajang fotoku bersama kekasihku. Papi langsung memberondong pertanyaan tentang siapa orang yang bersamaku di foto, keesokan harinya mami juga bertanya hal yang sama sambil menangis. Untungnya aku cukup bisa menguasai keadaan untuk tidak terbawa emosi yang mungkin malah akan menambah panas suasana rumah.
Namun satu nasihat mamiku yang membuat hatiku sangat perih. “Homo itu DOSA Grey.” Saat mami mengucapkan kata itu, ingin rasanya aku membalas dengan pertanyaan “apa yang mami tau tentang homosexualitas?” namun saat itu aku memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah.
Aku memahami bahwa bagi masyarakat awam tidak mudah untuk dapat menerima sebuah perbedaan, apalagi bila perbedaan itu sudah dianggap SALAH selama beradab-abad. Apalagi perbedaan ini menyangkut sexualitas, yang bagi masyarakat awam hanya ada satu pilihan yaitu menjadi heterosexual. Ditambah lagi dengan doktrin agama yang selalu menyebutkan bahwa homosexual adalah dosa besar sejak jaman nabi Luth.
Karena terlalu banyaknya stigma negative akan Homosexualitas, sejak awal aku menyadari tidak mudah untuk coming out ke semua orang apalagi coming out mendadak. Karena jangankan mamiku, aku sendiri saja membutuhkan waktu lebih dari enam belas tahun untuk dapat menerima diriku apa adanya. Tidak mudah bagiku untuk menerima kehendak Tuhan yang sengaja menciptakanku berbeda dari wanita lainnya.
Sungguh tidak mudah untuk akhirnya aku dapat mengucapkan “Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendakMu saja.” Bahkan selain untuk komunitas LGBTIQ, aku belum dapat membagikan pengalaman batinku ini kepada orang-orang lain.
Maka itu, ketika malam ini salah seorang sahabatku memperlihatkan sebuah brosur tentang Pekan LBGTIQ yang bertema “Citra Allah dalam Sesamaku”, yang akan diadakan oleh Sekolah Teologi Jakarta, aku sangat terharu membacanya. Meski kemungkinan besar aku tidak dapat hadir dalam acara tersebut, namun melihat tema-tema diskusinya, aku dapat merasakan sebuah penerimaan. Penerimaan yang jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah, kurasakan khususnya dalam komunitas yang beranggotakan orang-orang yang mengaku taat beragama dan mencintai Tuhan.
“Pada waktu manusia diciptakan oleh Allah, dibuatNya lah dia menurut rupa Allah.” – Kejadian 5:1