Pagi harinya, sekitar jam 8.30 aku di jemput oleh pihak City Tour untuk berangkat ke Chu Chi Tunnel, yaitu daerah yang memiliki terowongan-terowongan bawah tanah yang di bangun ketika jaman perang. Terowongan-terowongan itu di buat sebagai tempat tinggal sekaligus tempat persembunyian kala itu.
Chu Chi Tunnel, menurut Tour Leader kami saat itu, masih di kategorikan sebagai hutan. Tidak heran sepanjang perjalanan untuk menuju kesana harus melewati kompleks pemakaman dan hutan karet, belum lagi di daerah Chu Chi Tunnel masih sangat banyak Lengkibang berkeliaran dimana-mana. Awalnya tentu saja aku kaget dan sangat jijik, tapi lama kelamaan aku menjadi terbiasa melihat lengkibang berkeliaran. Hanya ketika mau duduk beristirahat atau berfoto aku harus melihat sekeliling dulu, takut kejatuhan lengkibang.
Melihat arsitektur terowongan-terowongan yang ada si Chu Chi Tunnel membuatku sangat kagum dengan orang-orang Vietnam kala itu, karena mereka sanggup membuat tempat tinggal, tempat persembunyian, dan jebakan-jebakan di dalam tanah sekaligus.
Dan yang paling membuatku kagum adalah mereka bisa membuat dapur umum di bawah tanah, tanpa membuat perapian disitu kekurangan oksigen, tanpa membuat daun-daun yang menutupi atapnya terbakar, dan tanpa bisa di lacak oleh musuh karena cerobong asap dari dapur umum tersebut terletak minimal 100 meter dari lokasi dapur umum.
Namun meski aku mengagumi cara mereka bertahan hidup, pergi ke Chu Chi Tunnel membuatku bersyukur aku di lahirkan bukan di jaman perang. Karena aku tidak bisa membayangkan kalau aku harus mendengarkan suara tembakan setiap hari, harus tinggal di lorong-lorong kecil itu setiap hari, dan harus singgap untuk bersembunyi setiap saat.
Oh ya, di Chu Chi Tunnel kebetulan ada area untuk mencoba belajar menembak dengan senapan sungguhan dan peluru tajam. Biaya untuk membeli peluru-peluru itu pun tidak terlalu mahal, kurang lebih 150,000 – 400,000 VND per 10 peluru tergantung jenis peluru dan senapan yang ingin digunakan.
Aku mencoba menembak dengan senapan model M60 (kalau tidak salah), baru saja masuk tembakan ketiga telingaku sudah berdenging, padahal aku sudah menggunakan pelindung telinga. Belum lagi selongsong-selongsong peluru yang masih panas berloncatan keluar setiap kali aku menembak, membuat 10 butir peluru itu sangat banyak untukku.
Sepulang dari Chu Chi Tunnel, waktu masih siang. Aku menemui mama dari tanteku dulu, lalu kami makan siang bersama di kedai depan hotel. Lalu setelah itu kami pergi berbelanja di pasar Ben Thanh, yang hanya berjarak kurang lebih 10 menit jalan kaki dari hotelku.
Pasar Ben Thanh mirip-mirip dengan pasar Pagi di Jakarta. Disana dijual segala jenis pernak-pernik dan oleh-oleh khas Vietnam. Dan yang paling banyak tentu saja kaos, gantungan kunci, magnet kulkas, dan kopi Vietnam.
Belanja di pasar, mau di Indonesia, di China, maupun di Vietnam tentu saja harus bisa menawar harga. Begitu juga di pasar Ben Thanh, kita harus menawar minimal 60% dari harga yang mereka buka karena dari situ kita baru akan mendapatkan harga tengah yang cocok untuk barang yang kita ingin beli dan ada baiknya juga kita membandingkan harga dari toko lain.
Habis puas berbelanja aku pulang ke hotel, dan bersiap-siap untuk makan malam bersama dengan keluarga tanteku. Kami makan malam di Restaurant Quan An Ngon, restaurant yang menjadi tujuan wisata kuliner nomor dua di Vietnam. Namun seperti kebanyakan restaurant di Vietnam, makanan-makanan di Quan An Ngon juga kebanyakan mengandung pork.
Selesai makan di Quan An Ngon, kami berjalan-jalan sebentar sebelum kembali ke hotel. Kami berfoto-foto sebentar di taman yang kami lewati. Sekali lagi aku kagum dengan Vietnam, meski negara ini bukanlah negara yang kaya dan penduduknya juga masih sulit untuk menaati peraturan lalu lintas yang berlaku, namun mereka sangat menjaga tata kota.
Masih banyak taman-taman yang dapat di jadikan tempat bersantai dan bermain bagi penduduk disana. Tamannya pun di lengkapi dengan berbagai peralatan olahraga yang di Indonesia mungkin hanya bisa di temui di tempat gymnasium. Belum lagi pohon-pohonnya yang sangat rindang membuat nyaman orang-orang yang ingin beristirahat sejenak setelah berjalan kaki seharian.
Meski melelahkan, hari itu aku sangat menikmati jalan-jalanku.
*** to be continued ***