Sepanjang
perjalanan hidup sejak kecil hingga dewasa, setiap orang pasti akan mengalami
masa-masa GALAU. Keadaan dimana seseorang dibuat bingung dalam memutuskan
langkah berikutnya dalam kehidupan. Mau melakukan ini salah, mau melakukan itu
juga belum tentu benar.
Dimasa-masa ABG, atau di usia belasan tahun hingga usia 20an awal, kegalauan seseorang biasanya pasti tentang PACAR. Naksir si A tapi si A naksir si B. Naksir si C tapi si C pacar orang. Jadian sama si D, tapi ternyata di selingkuhin juga.
Di usia
yang sedikit lebih dewasa, atau di usia pertengahan 20an hingga di akhir 30an,
biasanya kegalauan seseorang akan semakin meningkat levelnya menjadi tentang
pekerjaan dan juga tentang “PASANGAN HIDUP”. Pertanyaan “KAPAN KAWIN?” akan
menjadi pertanyaan yang paling dibenci dan paling dihindari oleh semua
jomblowan dan jomblowati atau oleh semua orang yang memang tidak tertarik untuk
menikah dengan berbagai alasan.
Alasanku
sendiri kenapa tidak mau menikah pastinya karena di Indonesia belum melegalkan
pernikahan sesama jenis. Sehingga untuk menikahi kekasihku tentu saja harus
menabung untuk menikah di luar negeri.
Namun
tidak dapat dihindari bahwa diusiaku saat ini tekanan untuk menikah dari orang
tua dan keluarga dekat akan semakin banyak. Diskusi-diskusi ringan dengan orang
tua malah berakhir dengan perang mulut hanya karena tidak sengaja disisipi
dengan nasihat-nasihat untuk segera menikah.
Dua
tahun yang lalu, saat adikku memutuskan untuk menikah, aku pun mengalami
masa-masa galau seperti ini. Sebagai anak sekaligus cucu tertua di keluarga, tekanan untuk segera mencari pasangan hidup semakin besar. Apalagi saat itu aku memang belum punya pacar. Untungnya
saat itu aku diberi sedikit pencerahan oleh Tuhan lewat injil Matius berikut
ini :
“19:1 Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, t berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. 19:2 Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Iapun menyembuhkan mereka u di sana. 19:3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya v dengan alasan apa saja?" 19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? w 19:5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. x 19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." 19:7 Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan y isterinya?" 19:8 Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. 19:9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah 1 , lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah. z " 19:10 Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." 19:11 Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. 19:12 Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
Kata-kata Yesus “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia
memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian
oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya
sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Membuatku yakin bahwa tidak ada kewajiban seseorang untuk HARUS menikah dan bahwa pernikahan BUKAN kepastian akan kebahagiaan.
Apalagi banyak cerita yang aku dengar dari teman-temanku dan juga
yang aku lihat dari orang-orang dekatku, tentang kegagalan pernikahan yang
hanya didasari oleh “desakan” usia dan keluarga, bukan dari cinta yang tulus. Salah
pilih pasangan karena terburu-buru ingin menikah, menjadi faktor terbesar dari
kegagalan dan ketidak bahagiaan dalam pernikahan tersebut.
Padahal alasan utama tiap orang tua mendesak anaknya dengan
pertanyaan “kapan kawin” pasti adalah demi KEBAHAGIAAN. Karena usia mereka yang
bertambah tua, pastinya orang tua tidak ingin melihat anaknya seorang diri saja.
Mereka pasti tidak tega harus meninggalkan anaknya sendirian bila sudah waktunya
mereka dipanggil Tuhan. Itulah sebabnya seringkali keluar kata-kata “papa/mama
tidak akan meninggal dengan tenang sebelum kamu menikah.”
BAHAGIA. Itulah kata kuncinya.
Kita harus bahagia dengan hidup kita, agar orangtua kita tenang. Kita
harus bisa tersenyum dengan bijak, berkepala dingin, dan yakin saat memberikan
alasan kenapa kita tidak perlu menikah bila hanya untuk “mencari kebahagiaan”. Tentu
saja karena kebahagiaan itu tidak perlu lagi dicari bila kita sudah bahagia. Dan
bahagia itu adalah sebuah pilihan.
Grey_S
Grey_S