“Bersabarlah…” Kata suara misterius itu di telingaku setiap kali aku berdoa mohon jalan keluar dari masalahku saat ini.
***
Masih teringat dalam benakku, beberapa tahun yang lalu ketika aku dan teman-temanku mengikuti acara outing ke Pulau Umang yang di adakan oleh anggota Senat mahasiswa di kampus kami. Acara outing saat itu sungguh berkesan karena di salah di dalam program acara, ada satu hari khusus untuk acara outbond.
Yang namanya acara outbond, pastilah untuk menguji daya tahan kita secara fisik dan mental dalam menghadapi rintangan dan tantangan yang ada. Nah saat itu ada sebuah rintangan yang paling berkesan dalam ingatanku hingga saat ini. Bahkan bila aku di minta untuk mengingat kembali kesuksesan-kesuksesan yang aku raih, maka kesuksesan melewati rintangan tersebut adalah salah satu hal yang akan aku ingat.
Rintangan yang aku maksud adalah menyebrangi sungai kecil, selebar dua puluhan meter yang hanya terhubung dengan dua utas tambang besi yang di ikatkan di batang pohon kelapa yang tumbuh di pinggiran sungai tersebut. Kedua utas tambang tersebut, yang satu untuk pijakan kaki dan yang lainnya untuk pegangan tangan. Selain itu tidak ada pengaman lain.
Sebenarnya saat itu pemandu kami sudah memberikan dua pilihan, yaitu menyebrangi sungai lewat bawah dengan resiko basah kuyub sebelum mulai bermain atau meniti tali tersebut dan kami akan tiba di tempat permainan dengan pakaian tetap kering. Tentu saja aku memilih pilihan yang kedua dengan pertimbangan Camera Recorder yang aku bawa akan selamat dari air kalau aku menyebrangi sungai tersebut dengan meniti tambang.
Tantangan terberat saat itu adalah ketakutanku akan ketinggian. Meniti tambang dengan ketinggian kurang lebih 30 meter dan lebar 20 meter bukan hal yang mudah untukku, meskipun setelah terlewati ternyata juga tidak sulit. Kesulitan terbesar tentu saja hanya di langkah awal. Karena langkah berikutnya aku hanya berusaha bertahan tanpa bisa memikirkan hal-hal lain. Iya lah bagaimana bisa aku memikirkan yang lain, kalau aku harus berkonsentrasi penuh agar aku tidak terjatuh ke sungai, yang meski tidak terlalu dalam tapi sangat berbatu-batu. Saat itu, dalam setiap langkahku, aku hanya dapat menyebut dalam hati, “Tuhan bantu aku melewati ini semua.”
Mungkin ada yang akan bertanya, apakah aku menyesal memilih untuk meniti tambang daripada basah-basahan? Ketika aku sudah berada di tengah-tengah tambang itu dan melihat sepertinya langkahku seperti tiada akhir, tentu saja aku menyesal. Tapi di tengah-tengah tambang titian itu, menyesal pun sudah tidak ada gunanya lagi. Untuk kembali ke titik awal, aku tetap harus berjuang melawan ketakutanku akan ketinggian. Perlahan-lahan melewati titian tersebut pun aku juga harus berjuang. Kalau aku berhenti dan menangis di tengah-tengah juga tidak ada yang bisa menolong, kecuali aku berani melompat ke sungai dengan resiko patah tulang atau gegar otak.
Saat itu aku benar-benar belajar berjuang. Berjuang untuk tetap bertahan dan menyelesaikan rintangan tersebut. Rintangan yang kelak menjadikanku sebagai orang yang lebih tangguh lagi. Kini, kalau aku ditanya apakah saat itu aku menyesal, jawabku tentu saja tidak. Karena sekarang disaat aku kembali berada di posisi yang sama, aku sudah tahu bagaimana harus bersikap dan melewatinya.
Dan sekarang kondisi masalahku kembali seperti saat itu. Dimana aku hanya bisa bersabar.
“Bersabarlah Grey… bertahanlah… selangkah lagi dan kamu akan melewatinya.”