Saturday, February 20, 2016

Jessica, Mirna, dan Pengadilan Social

Dalam satu bulan terakhir ini, seluruh media di Indonesia dihebohkan oleh kasus kematian seorang wanita sehabis meminum kopi bersama 2 orang sahabatnya. Meski awalnya media hanya menyebutkan inisial nama, namun akhirnya nama lengkap korban, saksi, tersangka kasus dan keluarga masing-masing pihak di tuliskan sejelas-jelasnya. 

Nama korban tewas adalah Mirna, dan sahabatnya yang menjadi saksi sekaligus tersangka adalah Jessica. Nama-nama terkait lainnya tidak perlu dibahas, karena saya malas menulis dan karena tokoh utama di tulisan saya ini memang hanya Jessica dan Mirna menurut sudut pandang pribadi saya.

Sampai tulisan ini saya buat, kasus pembunuhan Mirna lewat kopi yang mengandung sianida ini masih sangat misterius. Bukti-bukti yang digunakan polisi untuk menjadikan Jessica tersangka masih sangat minim dan penuh dengan asumsi-asumsi saja. Namun sejak beberapa jam kasus kematian Mirna menyebar di social media, hampir semua beritanya sangat menyudutkan Jessica. 

Pihak keluarga korban, maupun masyarakat mendadak membuat pengadilan sendiri untuk mengadili “tersangka”. Polisi pun terkesan terburu-buru ketika memberikan status tersangka kepada Jessica, tanpa menggunakan asas praduga tak bersalah yang sudah seharusnya menjadi hak semua orang yang belum terbukti bersalah. Polisi hanya beralasan, agar Jessica tidak melarikan diri dan tidak menghilangkan barang bukti, ketika memutuskan menahan Jessica dan memberikannya status tersangka. 

Huft…. Saya tidak bisa memberikan komentar apapun setiap membaca berita tentang Jessica – Mirna ini, karena saat ini masyarakat Indonesia sedang sangat mudah dipecah belah oleh Pro-Kontra. Apalagi “gossip” dibelakang kasus ini adalah cinta sejenis, yang juga sedang hot-hotnya dibahas di Media. Inilah yang membuat saya malas berdebat di kolom komentar di setiap berita, karena orang Indonesia lebih mendahulukan opini pribadi dan kata “Pokoknya”, dibandingkan dengan logika sehat dan tulisan-tulisan karya ilmiah. 

Saya hanya bisa memberikan EMPATI terhadap kasus Jessica-Mirna. 

**** 

Keluarga Mirna 

Saya bisa merasakan rasa sakit hati, marah, dan dendam, yang dialami keluarga Mirna saat mengetahui orang tersayang mereka meninggal mendadak, apalagi meninggalnya tidak secara normal. Di tinggal wafat oleh orang tersayang karena serangan jantung atau kecelakaan saja sudah sangat shock, apalagi karena dibunuh (atau terbunuh). 

Namun apakah tidak sebaiknya, menyerahkan kasus ini ke penyelidikan kepolisian, dari pada tampil di media massa dengan emosi dan memperkeruh suasana? Bagaimana kalau ternyata kecurigaan mereka tidak terbukti? 

Jessica 

Saya pernah tinggal di luar negeri dalam rangka belajar, meski tidak selama Jessica dan Mirna tinggal di Australia. Ketika tinggal di luar negeri, saya pun memiliki banyak teman yang pada waktu itu menjadi teman senasib. Sebagai sesama anak Indonesia yang tinggal diperantauan, otomatis kami sering berkumpul entah sekedar untuk makan bersama, belajar, jalan-jalan, atau pun sekedar minum-minum cantik dan bergosip. Maklum, kami jauh dari keluarga saat itu. 

Sepulangnya kami dari luar negeri itu, kami berusaha untuk masih saling kontak-kontakan, via Whatsapp, Facebook, dan social media lainnya, meski tentu saja tidak bisa sesering dan sedekat ketika kami masih sama-sama di perantauan. Bila ada waktu, atau bila ada teman lama yang datang ke Jakarta, kami pun mengusahakan untuk berkumpul, sekedar untuk mengenang masa-masa kami masih bisa sering bersama. 

Meski bukan sebuah kebiasaan, namun beberapa kali kami saling bergantian mentraktir ketika berkumpul bersama. Buat saya pribadi, mentraktir teman lama adalah sebuah aktualisasi diri untuk menyatakan “Sist, gw udah cukup sukses sekarang. Minum-minum cantik begini doang mah udah lha, gw yang bayar aja. Next baru lo yang bayar.” 

Pengalaman saya diatas miripkan dengan latar belakang kasus yang menimpa Jessica? 

Beberapa orang yang berteman sejak sekolah dari Australia, janjian kumpul bersama setelah sekian lama tidak berjumpa. Salah satu dari mereka, ingin mentraktir teman-temannya. Lalu bertemulah mereka di sebuah cafĂ© di Mall mewah di Jakarta. Saling berpelukan dan cipika-cipiki. 

Satu-satunya yang membedakan dari cerita saya dan Jessica adalah tidak ada teman saya yang meninggal ketika kami berkumpul bersama, apalagi ketika saya yang giliran mentraktir teman-teman saya. Terima kasih Tuhan untuk hal itu. 

Jujur saja, dengan kemiripan pengalaman saya dan Jessica, saya sering membayangkan diri saya berada di posisi Jessica saat ini. Menjadi tersangka karena ada teman yang meninggal ketika saya mentraktir minuman. Padahal belum tentu saya tau tentang minuman beracun tersebut. Seandainya saya yang berada di posisi Jessica saat ini, belum tentu saya bisa sekuat dia. Apalagi dengan latar belakang depresi yang saya miliki, bisa-bisa begitu dijadikan tersangka, saya akan berusaha bunuh diri duluan. 

Yang paling menyakitkan dari kasus Jessica ini adalah PENGADILAN SOSIAL yang langsung terjadi sejak beberapa jam setelah kasus tersebut beredar di social media, bahkan sebelum polisi memeriksa dan mengautopsi korban. Hanya 3 jam setelah info pertama tentang kematian Mirna saya terima, saya sudah mendapat 3 versi cerita dibalik kematian tersebut. Luar biasa kan? 

Versi pertama, adalah tentang hubungan sejenis antara Mirna dan Jessica, yang membuat Jessica membunuh Mirna karena cemburu setelah ditinggal menikah. Versi kedua, adalah Jessica membunuh Mirna karena merebut kekasihnya. Versi ketiga, adalah Mirna meninggal karena kebanyakan minum obat diet, dan langsung minum kopi tanpa makan terlebih dahulu. 

Pada akhirnya versi pertamalah yang di besarkan media, dan keluarga korban, khususnya kasus ini terjadi hampir bersamaan dengan issue LBGT yang tiba-tiba “meledak” juga di media social. Ntah benar atau tidak, sampai saat ini belum ada bukti, kecuali atas pengakuan keluarga korban, dan pengadilan social media yang tampak sudah tidak adil bagi Jessica. Namun melihat foto-foto masa lalu Jessica, Mirna, dan teman-teman lainnya yang beredar di social media, mengingatkan saya kembali pada diri saya sendiri dan teman-teman saya, sehingga jauh di dalam lubuk hati saya, saya mempercayai bahwa Jessica tidak punya hati untuk mencelakakan Mirna.

Dibawah ini, adalah berita-berita tentang kejanggalan-kejanggalan pada kasus Jessica-Mirna yang dikutip dari sumber yang bisa dipertanggung jawabkan :

http://news.detik.com/berita/3131104/pakar-psikologi-forensik-ini-yakin-jessica-bukan-pembunuh-mirna 

http://www.tribunnews.com/nasional/2016/02/05/lima-kejanggalan-kasus-mirna-versi-komnas-ham

http://www.tribunnews.com/metropolitan/2016/02/05/pakar-hukum-jessica-orang-salah-di-tempat-yang-salah 

http://www.beritasatu.com/megapolitan/347439-hotman-paris-yakin-jessica-bebas-di-pengadilan.html

2 comments:

Anonymous said...

Hai Kak Grey, aku suka tulisan kakak tentang kasus ini. Aku juga merasakan apa yang dirasakan Jessica. Bagaimana tidak, aku dijadikan tersangka dalam bahan lelucon yang hanya dikarenakan namaku Jessica juga. Duh kesal rasanya. Ada lagi, yang buat saya gedek itu ya isu LGBT yang lagi naik daun di Indonesia. Dan aku bisa merasakan komen yang intinya ngomong LGBT itu penyakit, dosa, tanda akan kiamat, pilihan, trend. Kalau kak Grey dalam menghadapi komen seperti itu, apa yang akan dilakukan?

Ms. Grey said...

@ JR Lee : Hallo. What's should i call you, Lee or Jessica?

Dalam menghadapi komen-komen seperti itu, biasanya saya melihat dulu orang-orang yang komen seperti apa. apakah mereka orang-orang yang masih bisa diberi pengertian atau orang-orang yang sudah tidak bisa menerima pendapat orang lain, yang penting "benci" ngga ngerti apa yang dibenci pokoknya "benci". Bahasa kerennya Haters lah.

Untuk para haters, semakin kamu frontal menghadapi mereka, semakin energi-mu yang terbuang. sehingga kalau saya menghadapi haters, mending diam aja, atau hapus komennya sekalian.

tapi bila orang-orang yang masih bisa diajak diskusi, biasanya saya mulai memberi mereka pertanyaan, yakin kah mereka dengan komen mereka. Apakah mereka mengerti jelas apa yang mereka komeni, dll.
Puji Tuhan, orang-orang ini biasanya masih bisa diajak berpikir lebih jernih.
Sehingga akhirnya saya bisa memberikan mereka sedikit gambaran dari sudut pandang saya.