Sunday, March 8, 2009

Nanning : Indonesian Town in China

Harusnya postingan kali ini adalah laporan perjalanan aku selama liburan musim semi kemarin. Tapi karena terus-terusan lupa posting, malah keburu SepociKopi duluan yang posting. Saking lamanya jangan-jangan bayi-nya Om-ku sudah keburu lahir neh...

Aku akan tetap posting cerita tentang liburan kemarin sebagai pelengkap Perjalanan Grey. Dan postingan yang ini pastinya masih asli punya-ku. Bukan yang sudah di perbaiki oleh Editor pengalaman.

Enjoy it.

***


Sebelum aku tiba kembali ke Jakarta, selama 2 minggu penuh aku habiskan liburanku di kota Nanning, ibukota provinsi Guangxi, China. Di salah satu pinggiran kota Nanning inilah sebagian keluargaku tinggal, setelah pembuangan orang Indonesia keturunan China yang terjadi sekitar tahun 1965.

Sebenarnya kalau bukan karena janji yang sudah diucapkan keluargaku sejak beberapa tahun yang lalu untuk datang mengunjungi keluarga yang di China, aku sama sekali tidak akan terpikir untuk datang ke kota ini. Karena meskipun Nanning adalah sebuah ibukota provinsi Guangxi, tapi Nanning tetaplah sebuah kota kecil yang jarang diketahui orang. Bahkan orang-orang China yang bukan berasal dari daerah Guangxi, juga jarang ada yang pernah mendengar nama kota ini. Selain itu di kota ini tidak ada tempat wisata yang populer.

1 minggu setelah imlek, tepatnya tanggal 1 februari 2009 kemarin adalah hari bersejarah untuk pamanku yang di Nanning. Hari itu pamanku resmi menikahi gadis yang sudah di pacarinya selama beberapa tahun. Karena kebetulan aku sedang bersekolah di China, sejak jauh-jauh hari aku sudah diingatkan untuk wajib hadir di pernikahan mereka, untuk mewakili keluarga besarku yang di Indonesia. Secara keluargaku yang di Indonesia sudah pasti tidak mungkin hadir, karena ongkosnya mahal.

Oh ya berhubung Beijing bagaikan kota tanpa penduduk menjelang perayaan imlek, sejak tanggal 21 Januari aku sudah tiba di Nanning, jadi sekalian bisa merayakan Imlek disana. Tadinya rencanaku imlek H+1 sampai pernikahan pamanku H-1, aku mau main ke HongKong dulu. Lumayan bisa main 5 hari di HongKong. Aku malas harus nginap di rumah orang lama-lama. Tapi Tuhan berkehendak lain, aku kehabisan tiket ke HongKong. Otomatis selama 2 minggu aku harus menjadi penduduk sementara kota Nanning.

Selama 2 minggu itu, aku hampir setiap hari diajak keliling kota, wisata kuliner, dan di perkenalkan kepada warga sekitar, dari situ aku baru sadar kalau kota Nanning ini adalah Indonesian Town di China. Konon kota ini adalah tempat penampungan bagi para Hua Qiao (sebutan untuk orang keturunan China) yang mengalami pembuangan dari Indonesia sekitar tahun 1965.

Hampir semua orang tua-tua di kota ini bisa berbahasa Indonesia, meskipun bukan bahasa Indonesia yang baku. Tapi logat Jawa, Cirebon, Cilamaya, Sunda masih sangat kental. Anak-anak mudanya pun masih mengerti bahasa Indonesia meskipun tidak bisa mengucapkannya. Hampir di setiap sudut kota banyak toko kue yang menjual Yin ni Dan gao (Kue-kue Indonesia).

Rasa makanan disana pun mirip dengan makanan Indonesia. Ada bakso yang rasanya mirip Bakso Afung di Jakarta, hanya kuahnya lebih kental. Ada Chao Fen, yang 100% sama dengan Cong Fan, makanan khas (kalau tidak salah) daerah Medan yang banyak di jual di sekolah-sekolah atau kompleks perumahan. La jiang (saus pedas) mereka pun rasanya mirip sambal bawang putih khas daerah Lampung. Padahal di kota-kota lain di China yang pernah aku kunjungi, aku sampai harus bawa sambal sendiri saat makan. Rasa Chinese Food di kota ini juga mirip dengan rasa Chinese Food di Jakarta.

Saat pesta malam imlek, di sebuah acara TV aku melihat kalau salah satu pakaian daerah yang mereka gunakan adalah baju Kebaya. Lagu-lagu mereka nyanyikan adalah lagu-lagu daerah Indonesia, seperti Bengawan Solo dan Nona Manis.

Kata pamanku, acara seperti itu ada setiap tahun. Termasuk perlombaan tari-tarian khas Indonesia. Karena itu setiap malam minggu ada ratusan orang ikut kelompok menari di balai desa, tentu saja lagu yang mereka gunakan adalah lagu-lagu Indonesia lama dan tarian mereka mirip tari Jaipong. Sastra Indonesia juga termasuk pelajaran yang banyak peminatnya di kampus-kampus di kota Nanning.

Di akhir pesta pernikahan pamanku, aku juga baru tahu kalau ada tradisi di kota itu, setiap kali ada pesta, di akhir pesta tersebut harus ada acara joget bersama, yang tentu saja menggunakan lagu-lagu Indonesia. Khususnya lagu dangdut.

Pokoknya aku salut banget deh, segala sesuatu yang berbau Indonesia sangat dihargai disana. Karena di Jakarta aku merasa orang-orang sudah tidak menghargai kebudayaan khas Indonesia. Dan karena aku datang dari Indonesia, mereka memperlakukanku bagai tamu agung lho. ;P


GreyS

2 comments:

Anonymous said...

ikutan joget dangdut ga, Grey?

Ms. Grey said...

@Zee : Diajak seh. Malah disuruh ngajarin mereka. Tapi aku malah lebih ga bisa lagi.

Joget mereka lebih bagus.